Klik wajah orang pada foto untuk memberi tanda. |
[JAKARTA] Wacana pemindahan ibu kota sebagai solusi kemacetan Kota Jakarta yang dilontarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (3/9), mendapat respons positif dari kalangan DPR, dan DPD, serta masyarakat. Namun, Gubenur DKI Jakarta fauzi Bowo mengingatkan bahwa pemindahan ibukota bukanlah hal yang mudah.
Demikian rangkuman pendapat dari kalangan DPR, DPRD, dan DPD serta Masayarakat Transportasi Indonesia yang dihimpun SP, Sabtu (4/9). Mereka adalah Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Ahmad Yani, Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah, Syariffudin Sudding dari Hanura, Marthin Hutabarat dari Gerindra,
Anggota DPR itu menyatakan setuju ide pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke wilayah lain seperti yang dilakukan Malaysia memindah pusat pemerintahan dari Kuala lumpur ke Putrajaya.
”Opsi pemindahan itu merupakan terobosan positif namun dengan syarat bahwa program mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta tetap dilakukan,” kata Syariffudin.
Sedangkan menurut Marthin, ide pemindahan itu sangat realistis. Marthin bahkan menyebut lokasi pusat pemerintahan yang ideal adalah sekitar Cikampek, Subang, Jawa Barat.
Pertimbangannya, di lokasi itu terdapat tanah negara yang mencapai lebih dari 5.000 hektare dan infrastruktur jalan tol sudah terbangun.
”Dengan demikian cost yang dibutuhkan tidak sebesar bila harus membangun infrastruktur baru, dan sangat efisien dan efektif bila ingin ke pusat bisnis di Jakarta,” katanya.
Yang terpenting dari wacana ini adalah kesepakatan dan komitmen tinggi mengingat pembangunan pusat pemerintahan butuh waktu panjang, tak cukup dalam satu dua periode kepemimpinan kepala daerah maupun presiden.
Anggota DPD RI dari Provinsi DKI Jakarta, Dani Anwar mengatakan, wacana megapolitan harus kembali diperhatikan pemerintah dan parlemen untuk menyikapi usul Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai pemindahan ibu kota negara dari Jakarta.
Pemisahan Fungsi
Menurut dia, wacana megapolitan yang diusung mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menegaskan adanya pemisahan fungsi-fungsi ibukota negara untuk dialihkan sebagian ke daerah-daerah penyangga Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi,
Dalam wacana tersebut, Sutiyoso mengusulkan untuk memisahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jonggol yang sebagian wilayahnya masuk Provinsi Jawa Barat. Sednagkan Jakarta dijadikan sebagai pusat bisnis atau niaga. Hal itu, mengacu pada langkah Malaysia yang melakukan pemisahan pusat pemerintahan ke Putrajaya.
“Sayangnya wacana yang cukup baik dan sudah melalui kajian yang komprehensif dari beberapa ahli ini, tidak diteruskan oleh Gubernur DKI yang sekarang (Fauzi Bowo, red),” kata Dani yang mantan Ketua Komisi E DPRD DKI periode 2004-2009.
Menurut dia, lahan dan daya dukung Jakarta yang terbatas, tak lagi memenuhi kriteria untuk menjalankan fungsi-fungsi ibu kota negara, seiring dengan pertambahan penduduk dan berubahnya Jakarta menjadi pusat dari berbagai kegiatan bisnis nasional maupun internasional.
Hal itu, membawa berbagai konsekuensi, antara lain persoalan tata kota yang semrawut, kemacetan dan banjir,. “Akibatnya, Jakarta berubah menjadi kota yang ruwet dan tak lagi nyaman. Kemacetan yang semakin parah tak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga menimbulkan stress,” ujar Dani.
Terkait dengan itu, lanjutnya, presiden melalui jajaran kementerian terkait sebaiknya membuat kajian mendalam untuk kembali mewacanakan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta.
“Jangan sampai hanya terhenti di kajian, tapi tak ada penyelesaian, sehingga Jakarta tetap dibebani berbagai fungsi sebagai ibu kota negara dan semakin ruwet,” kata Dani.
Ahmad Yani dan Marthin sepakat bahwa pemindahan pun tidak seluruh kantor-kantor pemerintahan. Berbeda dengan Marthin, Yani menyebut pemindahan lebih bagus ke luar Jawa karena selain pulau Jawa sudah cukup padat, pemindahan pusat pemerintahan akan mengembangkan daerah di luar Jawa.
Mengenai tempat Jafar Hafsah mengemukakan, hal itu bisa dibicarakan lagi. ”Tetapi saya lebih memilih di Jawa saja karena pembangunan infrastruktur tidak terlalu memerlukan biaya banyak. Jawa sudah sedikit maju dengan infrastruktur yang cukup lengkap,” kata Jafar.
PD mendukung penuh wacana pemindahan ibukota. Namun yang dipindah bukan keseluruhan ibukota seperti kegiatan bisnis dan perdagangan tetapi cukup pusat pemerintahan saja.
Ia berharap konsep pemindahan itu harus benar-benar disiapkan secara matang. Harus ada kajian yang lengkap dengan desain tata kota yang baik. Dengan itu maka perpindahan ibukota tidak membawa masalah di tempat baru. Karena itu dia berharap pemindahan tidak terburu-buru. “Dalam waktu 5 tahun ke depan, hal itu mungkin bisa dipikirkan. Tentukan kota dan desainnya,” ujarnya
Sementara Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo engan berkomentar banyak terkait wacana pemindahan ibukota dari Jakarta . Fauzi saat pelepasan mudik bareng salah satu perusahaan retail di Senayan, Jakarta , Sabtu pagi mengatakan, dirinya lebih baik konsentrasi memecahkan masalah yang ada di Jakarta . Sebab, tanpa Jakarta sebagai ibukota negara pun dirinya harus berusaha untuk mengatasi kemacetan, memajukan, dan mensejahterahkan warganya.“Mungkin wacana itu akan tercapai setelah saya dan Anda sudah tidak ada. Jadi, tidak usah berpikir jauh sementara masalah yang ada di depan mata seperti mendesak untuk dituntaskan,” katanya.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso setuju bila pusat pemerintahan digeser ke kota sekitar Jakarta yang aksesnya dekat, seperti Jonggol atau Bogor. Oleh karena itu, lanjut Wakil Ketua DRP RI ini, Golkar pasti akan mengkaji lebih lanjut opsi terbaik untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Dengan membuat solusi transportasi publik.
Sedangkan menurut Tjahyo Kumolo, wacana pemindahan ibu kota negara memang harus dipikirkan secara komprehensif dengan meninjau dari segala aspek dan khususnya infrastruktur. “ Pada dasarnya fraksi PDIP setuju saja ada inisiatif itu,” katanya.
Sedangkan dari kalangan DPRD DKI Jakarta, Wakil Ketua DPRD Inggard Josua mengatakan, wacana pemindahan Ibukota negara harus dipertimbangkan dan dikaji secara matang. Sebab, pemindahan itu pasti menguras biaya yang sangat besar.
Namun, Inggard tidak keberatan jika Ibukota dipindah ke daerah lain kalau pemerintah pusat menginginkannya. “Selama ini juga pemerintah pusat terkesan membiarkan Pemprov DKI mengatasi persoalan yang ada sendirian. Padahal, infrastruktur dan kegiatan pemerintah pusat ada di Jakarta,” katanya.
Menurutnya, persoalan seperti kemacetan dan banjir juga merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara pajak yang merupakan hasil perputaran ekonomi di Jakarta masuk ke kas pemerintah pusat.
“Kalau pemerintah dari dulu mau membantu Jakarta untuk membiayai infrastruktur banjir dan kemacetan , saya kira kondisi ibukota tidak seperti sekarang ini. Banyak ibukota negera di dunia ini yang sukses mengatasi permasalahan kota tanpa harus memindahkan ibukota,” ujar politisi dari Fraksi Golkar itu.
Senada dengan Inggard, Wakil Ketua DPRD lainnya Triwicaksana juga mengatakan demikian. Triwicakcana mengatakan, sensistifitas pemerintah pusat sangat lemah dalam melihat permasalahan Jakarta.
“Seharusnya pusat berkaca dulu apa yang sudah diberikan ke Pemprov DKI. Tidak etis kalau hanya persoalan kemacetan ibukota negara dipindah,” tutur politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Upaya Atasi Kemacetan Jakarta Wacana Memindahkan Ibu Kota Direspons Positif .
Opsi Presiden ;
Saat berbuka puasa bersama jajaran Kamar Dagang Industri (Kadin), di Jakarta, Jumat (3/9), Presiden melontarkan tiga opsi mengatasi masalah kemacetan Jakarta. Opsi pertama, membenahi transportasi Jakarta dengan membangun segala prasarana dan sarana transportasi yang baru, baik di permukaan, di bawah permukaan, dan di atas permukaan.
Opsi kedua, memindahkan pusat pemerintahan. Presiden membandingkan dengan apa yang dilakukan Malaysia. Ibu kota Malaysia tetap di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahan di Putrajaya. “Putrajaya menghabiskan uang sekitar Rp 80 triliun, kalau kita ingin bangun seperti itu dengan cakupan yang lebih luas, mungkin lebih (besar dananya),” kata Presiden.
Opsi ketiga, memindahkan ibu kota dengan membangun ibu kota yang benar-benar baru, seperti Canberra, Brasilia, Ankara, dan tempat-tempat yang lain. “Karena ini fundamental, diperlukan kesepakatan bersama, baik itu pemerintah, parlemen, dan semua kalangan masyarakat,” kata Presiden, Ketiga opsi itu terdapat kelebihan dan kekurangan, namun harus diputuskan.
Bila harus membangun pusat pemerintahan baru, maka sepuluh tahun dari sekarang baru bisa dilakukan berdirinya pusat pemerintahan itu.
Bila opsi yang dipilih adalah mempertahankan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan perdagangan sedangkan pusat pemerintahan dicarikan tempat baru, butuh waktu 5 hingga 7 tahun untuk membangun pusat pemerintahan itu. Mengenai dana, bisa dari APBN sebagian dan sebagian kemitraan pemerintah dengan publik, serta mungkin bisa melepas aset pemerintah yang ada di Jakarta. “Saya berandai-andai kalau itu dibangun tentu 90 persen dilakukan oleh pengusaha dalam negeri,” kata Presiden.
[W-12/R-14/J-9/H-14] SUARA PEMBARUAN
Demikian rangkuman pendapat dari kalangan DPR, DPRD, dan DPD serta Masayarakat Transportasi Indonesia yang dihimpun SP, Sabtu (4/9). Mereka adalah Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Ahmad Yani, Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah, Syariffudin Sudding dari Hanura, Marthin Hutabarat dari Gerindra,
Anggota DPR itu menyatakan setuju ide pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta ke wilayah lain seperti yang dilakukan Malaysia memindah pusat pemerintahan dari Kuala lumpur ke Putrajaya.
”Opsi pemindahan itu merupakan terobosan positif namun dengan syarat bahwa program mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta tetap dilakukan,” kata Syariffudin.
Sedangkan menurut Marthin, ide pemindahan itu sangat realistis. Marthin bahkan menyebut lokasi pusat pemerintahan yang ideal adalah sekitar Cikampek, Subang, Jawa Barat.
Pertimbangannya, di lokasi itu terdapat tanah negara yang mencapai lebih dari 5.000 hektare dan infrastruktur jalan tol sudah terbangun.
”Dengan demikian cost yang dibutuhkan tidak sebesar bila harus membangun infrastruktur baru, dan sangat efisien dan efektif bila ingin ke pusat bisnis di Jakarta,” katanya.
Yang terpenting dari wacana ini adalah kesepakatan dan komitmen tinggi mengingat pembangunan pusat pemerintahan butuh waktu panjang, tak cukup dalam satu dua periode kepemimpinan kepala daerah maupun presiden.
Anggota DPD RI dari Provinsi DKI Jakarta, Dani Anwar mengatakan, wacana megapolitan harus kembali diperhatikan pemerintah dan parlemen untuk menyikapi usul Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai pemindahan ibu kota negara dari Jakarta.
Pemisahan Fungsi
Menurut dia, wacana megapolitan yang diusung mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menegaskan adanya pemisahan fungsi-fungsi ibukota negara untuk dialihkan sebagian ke daerah-daerah penyangga Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi,
Dalam wacana tersebut, Sutiyoso mengusulkan untuk memisahkan pusat pemerintahan ke kawasan Jonggol yang sebagian wilayahnya masuk Provinsi Jawa Barat. Sednagkan Jakarta dijadikan sebagai pusat bisnis atau niaga. Hal itu, mengacu pada langkah Malaysia yang melakukan pemisahan pusat pemerintahan ke Putrajaya.
“Sayangnya wacana yang cukup baik dan sudah melalui kajian yang komprehensif dari beberapa ahli ini, tidak diteruskan oleh Gubernur DKI yang sekarang (Fauzi Bowo, red),” kata Dani yang mantan Ketua Komisi E DPRD DKI periode 2004-2009.
Menurut dia, lahan dan daya dukung Jakarta yang terbatas, tak lagi memenuhi kriteria untuk menjalankan fungsi-fungsi ibu kota negara, seiring dengan pertambahan penduduk dan berubahnya Jakarta menjadi pusat dari berbagai kegiatan bisnis nasional maupun internasional.
Hal itu, membawa berbagai konsekuensi, antara lain persoalan tata kota yang semrawut, kemacetan dan banjir,. “Akibatnya, Jakarta berubah menjadi kota yang ruwet dan tak lagi nyaman. Kemacetan yang semakin parah tak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga menimbulkan stress,” ujar Dani.
Terkait dengan itu, lanjutnya, presiden melalui jajaran kementerian terkait sebaiknya membuat kajian mendalam untuk kembali mewacanakan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta.
“Jangan sampai hanya terhenti di kajian, tapi tak ada penyelesaian, sehingga Jakarta tetap dibebani berbagai fungsi sebagai ibu kota negara dan semakin ruwet,” kata Dani.
Ahmad Yani dan Marthin sepakat bahwa pemindahan pun tidak seluruh kantor-kantor pemerintahan. Berbeda dengan Marthin, Yani menyebut pemindahan lebih bagus ke luar Jawa karena selain pulau Jawa sudah cukup padat, pemindahan pusat pemerintahan akan mengembangkan daerah di luar Jawa.
Mengenai tempat Jafar Hafsah mengemukakan, hal itu bisa dibicarakan lagi. ”Tetapi saya lebih memilih di Jawa saja karena pembangunan infrastruktur tidak terlalu memerlukan biaya banyak. Jawa sudah sedikit maju dengan infrastruktur yang cukup lengkap,” kata Jafar.
PD mendukung penuh wacana pemindahan ibukota. Namun yang dipindah bukan keseluruhan ibukota seperti kegiatan bisnis dan perdagangan tetapi cukup pusat pemerintahan saja.
Ia berharap konsep pemindahan itu harus benar-benar disiapkan secara matang. Harus ada kajian yang lengkap dengan desain tata kota yang baik. Dengan itu maka perpindahan ibukota tidak membawa masalah di tempat baru. Karena itu dia berharap pemindahan tidak terburu-buru. “Dalam waktu 5 tahun ke depan, hal itu mungkin bisa dipikirkan. Tentukan kota dan desainnya,” ujarnya
Sementara Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo engan berkomentar banyak terkait wacana pemindahan ibukota dari Jakarta . Fauzi saat pelepasan mudik bareng salah satu perusahaan retail di Senayan, Jakarta , Sabtu pagi mengatakan, dirinya lebih baik konsentrasi memecahkan masalah yang ada di Jakarta . Sebab, tanpa Jakarta sebagai ibukota negara pun dirinya harus berusaha untuk mengatasi kemacetan, memajukan, dan mensejahterahkan warganya.“Mungkin wacana itu akan tercapai setelah saya dan Anda sudah tidak ada. Jadi, tidak usah berpikir jauh sementara masalah yang ada di depan mata seperti mendesak untuk dituntaskan,” katanya.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso setuju bila pusat pemerintahan digeser ke kota sekitar Jakarta yang aksesnya dekat, seperti Jonggol atau Bogor. Oleh karena itu, lanjut Wakil Ketua DRP RI ini, Golkar pasti akan mengkaji lebih lanjut opsi terbaik untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. Dengan membuat solusi transportasi publik.
Sedangkan menurut Tjahyo Kumolo, wacana pemindahan ibu kota negara memang harus dipikirkan secara komprehensif dengan meninjau dari segala aspek dan khususnya infrastruktur. “ Pada dasarnya fraksi PDIP setuju saja ada inisiatif itu,” katanya.
Sedangkan dari kalangan DPRD DKI Jakarta, Wakil Ketua DPRD Inggard Josua mengatakan, wacana pemindahan Ibukota negara harus dipertimbangkan dan dikaji secara matang. Sebab, pemindahan itu pasti menguras biaya yang sangat besar.
Namun, Inggard tidak keberatan jika Ibukota dipindah ke daerah lain kalau pemerintah pusat menginginkannya. “Selama ini juga pemerintah pusat terkesan membiarkan Pemprov DKI mengatasi persoalan yang ada sendirian. Padahal, infrastruktur dan kegiatan pemerintah pusat ada di Jakarta,” katanya.
Menurutnya, persoalan seperti kemacetan dan banjir juga merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara pajak yang merupakan hasil perputaran ekonomi di Jakarta masuk ke kas pemerintah pusat.
“Kalau pemerintah dari dulu mau membantu Jakarta untuk membiayai infrastruktur banjir dan kemacetan , saya kira kondisi ibukota tidak seperti sekarang ini. Banyak ibukota negera di dunia ini yang sukses mengatasi permasalahan kota tanpa harus memindahkan ibukota,” ujar politisi dari Fraksi Golkar itu.
Senada dengan Inggard, Wakil Ketua DPRD lainnya Triwicaksana juga mengatakan demikian. Triwicakcana mengatakan, sensistifitas pemerintah pusat sangat lemah dalam melihat permasalahan Jakarta.
“Seharusnya pusat berkaca dulu apa yang sudah diberikan ke Pemprov DKI. Tidak etis kalau hanya persoalan kemacetan ibukota negara dipindah,” tutur politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Upaya Atasi Kemacetan Jakarta Wacana Memindahkan Ibu Kota Direspons Positif .
Opsi Presiden ;
Saat berbuka puasa bersama jajaran Kamar Dagang Industri (Kadin), di Jakarta, Jumat (3/9), Presiden melontarkan tiga opsi mengatasi masalah kemacetan Jakarta. Opsi pertama, membenahi transportasi Jakarta dengan membangun segala prasarana dan sarana transportasi yang baru, baik di permukaan, di bawah permukaan, dan di atas permukaan.
Opsi kedua, memindahkan pusat pemerintahan. Presiden membandingkan dengan apa yang dilakukan Malaysia. Ibu kota Malaysia tetap di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahan di Putrajaya. “Putrajaya menghabiskan uang sekitar Rp 80 triliun, kalau kita ingin bangun seperti itu dengan cakupan yang lebih luas, mungkin lebih (besar dananya),” kata Presiden.
Opsi ketiga, memindahkan ibu kota dengan membangun ibu kota yang benar-benar baru, seperti Canberra, Brasilia, Ankara, dan tempat-tempat yang lain. “Karena ini fundamental, diperlukan kesepakatan bersama, baik itu pemerintah, parlemen, dan semua kalangan masyarakat,” kata Presiden, Ketiga opsi itu terdapat kelebihan dan kekurangan, namun harus diputuskan.
Bila harus membangun pusat pemerintahan baru, maka sepuluh tahun dari sekarang baru bisa dilakukan berdirinya pusat pemerintahan itu.
Bila opsi yang dipilih adalah mempertahankan Jakarta sebagai pusat ekonomi dan perdagangan sedangkan pusat pemerintahan dicarikan tempat baru, butuh waktu 5 hingga 7 tahun untuk membangun pusat pemerintahan itu. Mengenai dana, bisa dari APBN sebagian dan sebagian kemitraan pemerintah dengan publik, serta mungkin bisa melepas aset pemerintah yang ada di Jakarta. “Saya berandai-andai kalau itu dibangun tentu 90 persen dilakukan oleh pengusaha dalam negeri,” kata Presiden.
[W-12/R-14/J-9/H-14] SUARA PEMBARUAN
Dalam foto ini: Dpn Lanjutkan Sby


0 komentar to Ibu Kota Pindah Ke Karawang