Tiga Tahun Dipimpin “Ahlinya” Jakarta Tidak Lebih Baik
Senin, 11 Oktober 2010 , 07:17:00 WIB
![]() |
Bisa dibilang, kepemimpinan Fauzi Bowo dan Wagub Prijanto nyaris tak beda dengan pemerintahan sebelumnya.
“Selama kepemimpinannya tidak ada yang spesial. Biasa-biasa saja. Kalau diponten, kira-kira nilainya kisaran 5-6. Cukup fair rasanya memberikan angka tersebut buat mereka. Sebab, tidak ada kebijakan membanggakan selama tiga tahun ini,” ujar Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nurkolis Hidayat.
Terkait kebijakan dan anggaran, menurutnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak transparan dan cenderung selalu merugikan masyarakat kelas bawah. “Seperti politik penggusuran yang sampai sekarang tidak pernah berubah. Masyarakat digusur paksa. Begitu juga pengadaan rumah susun yang peruntukannya tidak tepat sasaran,” tandasnya.
Masalah penggusuran, jelas Nurkolis, Pemprov DKI seharusnya terlebih dulu melakukan pendekatan sistematis. Jangan langsung memberikan waktu jeda penggusuran.
“Satpol PP seharusnya diubah untuk mengurangi konflik terbuka yang terjadi akibat penggusuran paksa. Harus ada kebijakan yang lebih berkeadilan,” ujarnya.
Sementara slogan kampanye pasangan Foke-Prijanto “Jakarta Untuk Semua” juga dia nilai hingga kini belum terwujud. Sebab, menurutnya, Foke lebih senang datang ke kelompok-kelompok kontroversial. Belum menjangkau semua kelompok.
Namun, Nurkolis berpendapat, pemerintahan Foke, sapaan Fauzi dengan Prijanto punya sisi positif dalam hal kebijakan dan anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan naik jadi 37 persen.
“Ini bagus dari sisi policy dan anggaran, tapi sayang tidak diikuti monitoring yang baik. Kami di LBH banyak menerima komplain dari asosiasi guru dan orang tua,” ujarnya.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna mengatakan, realisasi program pembangunan yang ada saat ini belum mencerminkan gubernur bisa memberi garansi kepada warganya bahwa berbagai masalah mampu diatasi.
Setidaknya, jelas Yayat, ada tiga faktor yang jadi akar masalah roda pembangunan Jakarta yang terkesan jalan di tempat. Ketiga faktor itu adalah urbanisasi tak terkendali, dualisme sistem birokrasi, dan kapasitas kelembagaan atau sumber daya manusia yang tidak memadai.
“Lonjakan jumlah penduduk ibukota yang resmi terdaftar ataupun tidak sulit diprediksi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penduduk DKI pada 2020 mencapai 11 juta orang. Padahal faktanya sekarang saja yang beraktivitas di Jakarta sudah 9-10 juta orang,” tukas Yayat.
Tentu saja, lanjutnya, kota dituntut memenuhi kebutuhan semua orang yang beraktivitas di dalamnya. Tidak bisa hanya bersandar pada hitungan penduduk resmi alias warga berkartu tanda penduduk (KTP) DKI.
Yayat menegaskan, sulit melakukan penataan transportasi massal, pembenahan permukiman, hingga antisipasi banjir bisa optimal ketika dasar data kependudukannya saja tidak valid.
Direktur Eksekutif Masyarakat Peduli Pembangunan Jakarta (MPPJ) Arman Zakaria menilai, berbagai kritikan, saran dan pandangan dari berbagai pihak merupakan masukan berharga untuk mengevaluasi periode tersebut. Untuk sekarang, memang masih ada dua yang mesti dievaluasi. Yaitu memperbaiki yang belum tercapai dan meningkatkan apa yang sudah tercapai.
Agar pencapaian suatu perencanaan efektif, pembenahan reformasi birokrasi dan administrasi kepegawaian perlu dilakukan. Jika itu terpenuhi, aparat Pemprov DKI nantinya akan bisa melayani kepentingan publik secara efektif.
“Untuk menciptakan sistem pelayanan terbaik buat masyarakat, tidak akan berjalan mulus jika birokrasi, administrasi, dan profesionalisme belum tercipta dalam diri tiap individu,” ujar Arman. [RM]
Baca juga:
| Bang Kumis Ogah Ngomong Soal Kemacetan |
| Pemprov DKI Memeras Warga |
| Parkir Liar Ditertibkan Mulai Pekan Depan |
| Nasib Nelayan DKI Sudah Senen-Kemis |
| Kebijakan Pemprov Cuma Pro Orang Kaya |


0 komentar to Ponten Foke Cuma 5 Tiga Tahun Dipimpin “Ahlinya” Jakarta Tidak Lebih Baik