Razia Pendatang Haram di DKI Cuma Pemborosan OYK Cukup Dilakukan RT & RW, Tak Perlu Kerahkan Satpol PP Senin, 04 Oktober 2010 , 07:19:00 WIB RMOL. Meski pelaksanaan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) dinilai banyak pihak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadikan para pendatang haram dan pelanggar administrasi kependudukan ini sebagai Target Operasi (TO) mereka. Salah satunya, seperti razia OYK yang digelar serentak di lima wilayah Kamis (30/9), de­ngan menjaring 1.196 pelang­gar. Padahal, operasi yang digelar Pemprov DKI beberapa kali seta­hun ini, belum pernah terbukti efek­­tif memperlambat atau me­nu­runkan tingkat pertumbuhan penduduk di ibukota. Tahun ini, OYK memasuki ta­hap ketiga dari lima yang diren­canakan. Dua pu­taran sebelum­nya diadakan pada 15 Juli, 29 Juli dan 30 Sep­tember. Tapi tetap saja, kegiatan itu dini­lai tidak efektif untuk terus dilakukan. “Dampak yang timbul justru cenderung menghambur-hambur­kan anggaran. Sedangkan hasil­nya tidak pernah jelas. Karena dari ta­hun ke tahun, hasil kegiatan OYK cuma begitu-begitu saja,” kritik Ko­ordina­tor Konsorsium Rak­yat Miskin Kota Wardah Hafidz kepada Rak­yat Merdeka. Selain itu, lanjutnya, setiap kali petugas ingin mengadakan OYK, mereka terkesan selalu menjadi­kan pemukiman pendu­duk kelas bawah untuk dijadikan target sa­saran operasi. Sedang­kan pemu­ki­man elite seakan tidak per­nah terjamah petugas dalam se­tiap ope­rasi mereka. “Dalam razia-razia yang dila­kukan juga sering terjadi pelang­garan HAM. Seperti tak adanya su­rat penangkapan dan surat pengge­ledahan. Sebe­narnya Sat­pol PP tidak punya kewenangan me­la­kukan itu,” terangnya. Karena itu, Wardah menilai, apa yang dilakukan pemerintah dae­rah lewat kebijakan OYK sejauh ini merupakan tindak kriminali­sasi warga miskin dan bersifat diskriminatif. “Orang yang mere­ka kejar-ke­jar itu warga negara, yang mem­punyai hak men­cari peker­jaan dan tinggal di ma­na pun me­reka suka seperti ter­tulis da­lam kons­titusi kita,” tan­das­nya. Mengenai dugaan pelangga­ran HAM, imbuhnya, juga bisa dili­hat dari tindakan aparat yang di­anggap menggunakan cara-cara kekerasan saat melakukan OYK. Permasalahan ti­dak akan pernah terselesaikan jika pen­dis­krimi­nasian hak asasi para pencari ker­ja terus terjadi. “Aparat selalu menggunakan cara kekerasan, pemaksaan, pe­mukulan, bahkan kadang pelece­han seksual. OYK yang diang­gap sebagai obat mujarab me­ngu­rangi kepadatan penduduk ternyata jus­tru melanggar HAM, khususnya warga miskin. Jadi, sebaiknya kegiatan semacam ini diberhenti­kan saja,” pintanya. Kalau hanya ingin menertib­kan administrasi kependudukan me­reka atau pencari kerja, kata War­­dah, cukup ketua RT/RW-nya sa­ja yang disuruh mendata dan me­nye­lesikan permasalahan itu. Tidak perlu ha­rus menge­rahkan personel me­ra­zia suatu tempat sehingga dana yang dike­luarkan tidak besar. “Sehingga, suasana lingku­ngan akan tetap nyaman dengan tidak adanya lagi kejar-kejaran antara petugas dengan pencari kerja ha­nya dengan alasan tertib admi­nistrasi. Entah itu KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau apalah,” tutur Wardah. Dia menambahkan, seorang RT atau RW tentu hafal dan bisa mem­bedakan warga lama dan ba­ru di pemukiman mereka. “Deng­an memanfaatkan fungsi mereka, proses penertiban administrasi kependudukan akan bisa lang­sung tepat sasaran,” imbuhnya. Sesuai Prosedur Menanggapi tudingan menge­nai pelanggaran HAM dalam setiap pelaksanaan OYK, Kepala Dinas Kependudukan dan Cata­tan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Franky Mangatas Pandjaitan men­jelaskan, selama melakukan kegiatan ini pihaknya telah meng­­ikuti prosedur. “Tidak pernah ada kekerasan yang terjadi dalam setiap pelak­sanaan. Objek operasinya juga merata, perumahan elite, aparte­men maupun perkampungan. Tu­juannya meningkatkan ke­sadaran masyarakat memahami dan me­matuhi ketentuan perun­dang-un­dangan tentang adminis­trasi ke­pendudukan dan pengen­dalian ting­kat mobilitas dan mi­grasi pen­­duduk, serta ketertiban umum di Provinsi DKI Jakarta, sesuai Per­da yang tertulis,” terangnya. Seperti diketahui, dalam OY­K yang dilakukan serentak di lima wilayah Jakarta Kamis (30/9), petugas berhasil menja­ring 1.196 pelanggar administrasi kependu­dukan. Rinciannya, 238 orang di Ja­karta Pusat, 315 di Jakarta Barat, 119 di Jakarta Sela­tan, 256 di Ja­karta Ti­mur, 170 di Jakarta Uta­ra dan 98 di Kepu­lauan Seribu. Mereka ter­jaring karena tidak dapat menun­jukkan KTP DKI Ja­karta, serta ti­dak memba­wa tanda pengenal apa­pun sam­pai dengan kepemilikan KTP ka­da­luarsa dan belum diper­panjang pemiliknya. [RM]

Posted by real application On Senin, 04 Oktober 2010 0 komentar
Razia Pendatang Haram di DKI Cuma Pemborosan
OYK Cukup Dilakukan RT & RW, Tak Perlu Kerahkan Satpol PP
Senin, 04 Oktober 2010 , 07:19:00 WIB

  
RMOL. Meski pelaksanaan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) dinilai banyak pihak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadikan para pendatang haram dan pelanggar administrasi kependudukan ini sebagai Target Operasi (TO) mereka.

Salah satunya, seperti razia OYK yang digelar serentak di lima wilayah Kamis (30/9), de­ngan menjaring 1.196 pelang­gar. Padahal, operasi yang digelar Pemprov DKI beberapa kali seta­hun ini, belum pernah terbukti efek­­tif memperlambat atau me­nu­runkan tingkat pertumbuhan penduduk di ibukota.

Tahun ini, OYK memasuki ta­hap ketiga dari lima yang diren­canakan. Dua pu­taran sebelum­nya diadakan pada 15 Juli, 29 Juli dan 30 Sep­tember. Tapi tetap saja, kegiatan itu dini­lai tidak efektif untuk terus dilakukan.

“Dampak yang timbul justru cenderung menghambur-hambur­kan anggaran. Sedangkan hasil­nya tidak pernah jelas. Karena dari ta­hun ke tahun, hasil kegiatan OYK cuma begitu-begitu saja,” kritik Ko­ordina­tor Konsorsium Rak­yat Miskin Kota Wardah Hafidz kepada Rak­yat Merdeka.

Selain itu, lanjutnya, setiap kali petugas ingin mengadakan OYK, mereka terkesan selalu menjadi­kan pemukiman pendu­duk kelas bawah untuk dijadikan target sa­saran operasi. Sedang­kan pemu­ki­man elite seakan tidak per­nah terjamah petugas dalam se­tiap ope­rasi mereka.

“Dalam razia-razia yang dila­kukan juga sering terjadi pelang­garan HAM. Seperti tak adanya su­rat penangkapan dan surat pengge­ledahan. Sebe­narnya Sat­pol PP tidak punya kewenangan me­la­kukan itu,” terangnya.

Karena itu, Wardah menilai, apa yang dilakukan pemerintah dae­rah lewat kebijakan OYK sejauh ini merupakan tindak kriminali­sasi warga miskin dan bersifat diskriminatif.

“Orang yang mere­ka kejar-ke­jar itu warga negara, yang mem­punyai hak men­cari peker­jaan dan tinggal di ma­na pun me­reka suka seperti ter­tulis da­lam kons­titusi kita,” tan­das­nya.

Mengenai dugaan pelangga­ran HAM, imbuhnya, juga bisa dili­hat dari tindakan aparat yang di­anggap menggunakan cara-cara kekerasan saat melakukan OYK. Permasalahan ti­dak akan pernah terselesaikan jika pen­dis­krimi­nasian hak asasi para pencari ker­ja terus terjadi.

“Aparat selalu menggunakan cara kekerasan, pemaksaan, pe­mukulan, bahkan kadang pelece­han seksual. OYK yang diang­gap sebagai obat mujarab me­ngu­rangi kepadatan penduduk ternyata jus­tru melanggar HAM, khususnya warga miskin. Jadi, sebaiknya kegiatan semacam ini diberhenti­kan saja,” pintanya.

Kalau hanya ingin menertib­kan administrasi kependudukan me­reka atau pencari kerja, kata War­­dah, cukup ketua RT/RW-nya sa­ja yang disuruh mendata dan me­nye­lesikan permasalahan itu. Tidak perlu ha­rus menge­rahkan personel me­ra­zia suatu tempat sehingga dana yang dike­luarkan tidak besar.

“Sehingga, suasana lingku­ngan akan tetap nyaman dengan tidak adanya lagi kejar-kejaran antara petugas dengan pencari kerja ha­nya dengan alasan tertib admi­nistrasi. Entah itu KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau apalah,” tutur Wardah.

Dia menambahkan, seorang RT atau RW tentu hafal dan bisa mem­bedakan warga lama dan ba­ru di pemukiman mereka. “Deng­an memanfaatkan fungsi mereka, proses penertiban administrasi kependudukan akan bisa lang­sung tepat sasaran,” imbuhnya.

Sesuai Prosedur

Menanggapi tudingan menge­nai pelanggaran HAM dalam setiap pelaksanaan OYK, Kepala Dinas Kependudukan dan Cata­tan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Franky Mangatas Pandjaitan men­jelaskan, selama melakukan kegiatan ini pihaknya telah meng­­ikuti prosedur.

“Tidak pernah ada kekerasan yang terjadi dalam setiap pelak­sanaan. Objek operasinya juga merata, perumahan elite, aparte­men maupun perkampungan. Tu­juannya meningkatkan ke­sadaran masyarakat memahami dan me­matuhi ketentuan perun­dang-un­dangan tentang adminis­trasi ke­pendudukan dan pengen­dalian ting­kat mobilitas dan mi­grasi pen­­duduk, serta ketertiban umum di Provinsi DKI Jakarta, sesuai Per­da yang tertulis,” terangnya.

Seperti diketahui, dalam OY­K yang dilakukan serentak di lima wilayah Jakarta Kamis (30/9), petugas berhasil menja­ring 1.196 pelanggar administrasi kependu­dukan.

Rinciannya, 238 orang di Ja­karta Pusat, 315 di Jakarta Barat, 119 di Jakarta Sela­tan, 256 di Ja­karta Ti­mur, 170 di Jakarta Uta­ra dan 98 di Kepu­lauan Seribu. Mereka ter­jaring karena tidak dapat menun­jukkan KTP DKI Ja­karta, serta ti­dak memba­wa tanda pengenal apa­pun sam­pai dengan kepemilikan KTP ka­da­luarsa dan belum diper­panjang pemiliknya.   [RM]

0 komentar to Razia Pendatang Haram di DKI Cuma Pemborosan OYK Cukup Dilakukan RT & RW, Tak Perlu Kerahkan Satpol PP Senin, 04 Oktober 2010 , 07:19:00 WIB RMOL. Meski pelaksanaan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK) dinilai banyak pihak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadikan para pendatang haram dan pelanggar administrasi kependudukan ini sebagai Target Operasi (TO) mereka. Salah satunya, seperti razia OYK yang digelar serentak di lima wilayah Kamis (30/9), de­ngan menjaring 1.196 pelang­gar. Padahal, operasi yang digelar Pemprov DKI beberapa kali seta­hun ini, belum pernah terbukti efek­­tif memperlambat atau me­nu­runkan tingkat pertumbuhan penduduk di ibukota. Tahun ini, OYK memasuki ta­hap ketiga dari lima yang diren­canakan. Dua pu­taran sebelum­nya diadakan pada 15 Juli, 29 Juli dan 30 Sep­tember. Tapi tetap saja, kegiatan itu dini­lai tidak efektif untuk terus dilakukan. “Dampak yang timbul justru cenderung menghambur-hambur­kan anggaran. Sedangkan hasil­nya tidak pernah jelas. Karena dari ta­hun ke tahun, hasil kegiatan OYK cuma begitu-begitu saja,” kritik Ko­ordina­tor Konsorsium Rak­yat Miskin Kota Wardah Hafidz kepada Rak­yat Merdeka. Selain itu, lanjutnya, setiap kali petugas ingin mengadakan OYK, mereka terkesan selalu menjadi­kan pemukiman pendu­duk kelas bawah untuk dijadikan target sa­saran operasi. Sedang­kan pemu­ki­man elite seakan tidak per­nah terjamah petugas dalam se­tiap ope­rasi mereka. “Dalam razia-razia yang dila­kukan juga sering terjadi pelang­garan HAM. Seperti tak adanya su­rat penangkapan dan surat pengge­ledahan. Sebe­narnya Sat­pol PP tidak punya kewenangan me­la­kukan itu,” terangnya. Karena itu, Wardah menilai, apa yang dilakukan pemerintah dae­rah lewat kebijakan OYK sejauh ini merupakan tindak kriminali­sasi warga miskin dan bersifat diskriminatif. “Orang yang mere­ka kejar-ke­jar itu warga negara, yang mem­punyai hak men­cari peker­jaan dan tinggal di ma­na pun me­reka suka seperti ter­tulis da­lam kons­titusi kita,” tan­das­nya. Mengenai dugaan pelangga­ran HAM, imbuhnya, juga bisa dili­hat dari tindakan aparat yang di­anggap menggunakan cara-cara kekerasan saat melakukan OYK. Permasalahan ti­dak akan pernah terselesaikan jika pen­dis­krimi­nasian hak asasi para pencari ker­ja terus terjadi. “Aparat selalu menggunakan cara kekerasan, pemaksaan, pe­mukulan, bahkan kadang pelece­han seksual. OYK yang diang­gap sebagai obat mujarab me­ngu­rangi kepadatan penduduk ternyata jus­tru melanggar HAM, khususnya warga miskin. Jadi, sebaiknya kegiatan semacam ini diberhenti­kan saja,” pintanya. Kalau hanya ingin menertib­kan administrasi kependudukan me­reka atau pencari kerja, kata War­­dah, cukup ketua RT/RW-nya sa­ja yang disuruh mendata dan me­nye­lesikan permasalahan itu. Tidak perlu ha­rus menge­rahkan personel me­ra­zia suatu tempat sehingga dana yang dike­luarkan tidak besar. “Sehingga, suasana lingku­ngan akan tetap nyaman dengan tidak adanya lagi kejar-kejaran antara petugas dengan pencari kerja ha­nya dengan alasan tertib admi­nistrasi. Entah itu KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau apalah,” tutur Wardah. Dia menambahkan, seorang RT atau RW tentu hafal dan bisa mem­bedakan warga lama dan ba­ru di pemukiman mereka. “Deng­an memanfaatkan fungsi mereka, proses penertiban administrasi kependudukan akan bisa lang­sung tepat sasaran,” imbuhnya. Sesuai Prosedur Menanggapi tudingan menge­nai pelanggaran HAM dalam setiap pelaksanaan OYK, Kepala Dinas Kependudukan dan Cata­tan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Franky Mangatas Pandjaitan men­jelaskan, selama melakukan kegiatan ini pihaknya telah meng­­ikuti prosedur. “Tidak pernah ada kekerasan yang terjadi dalam setiap pelak­sanaan. Objek operasinya juga merata, perumahan elite, aparte­men maupun perkampungan. Tu­juannya meningkatkan ke­sadaran masyarakat memahami dan me­matuhi ketentuan perun­dang-un­dangan tentang adminis­trasi ke­pendudukan dan pengen­dalian ting­kat mobilitas dan mi­grasi pen­­duduk, serta ketertiban umum di Provinsi DKI Jakarta, sesuai Per­da yang tertulis,” terangnya. Seperti diketahui, dalam OY­K yang dilakukan serentak di lima wilayah Jakarta Kamis (30/9), petugas berhasil menja­ring 1.196 pelanggar administrasi kependu­dukan. Rinciannya, 238 orang di Ja­karta Pusat, 315 di Jakarta Barat, 119 di Jakarta Sela­tan, 256 di Ja­karta Ti­mur, 170 di Jakarta Uta­ra dan 98 di Kepu­lauan Seribu. Mereka ter­jaring karena tidak dapat menun­jukkan KTP DKI Ja­karta, serta ti­dak memba­wa tanda pengenal apa­pun sam­pai dengan kepemilikan KTP ka­da­luarsa dan belum diper­panjang pemiliknya. [RM]

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.