![]() |
Hal tersebut tampak dalam keterangan pers Transparancy International Indonesia (TII). Menurut TII, Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin menyampaikan rekayasa perkara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada dua orang pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah.
Disampaikan pula, rekayasa perkara terhadap Bibit dan Chandra terjadi karena banyak pihak yang merasa terancam dengan penindakan yang dilakukan KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi telah memenjarakan 42 anggota parlemen, 8 menteri, 7 gubernur, 20 bupati/wali kota, 8 anggota KPU, 4 duta besar, 1 gubernur Bank Indonesia (BI), dan 4 deputi gubernur BI.
Masih berdasarkan keterangan TII, Jasin juga menyampaikan beberapa kasus kejahatan di bidang kehutanan yang telah ditangani KPK. Kasus itu antara lain melibatkan dua orang pejabat publik, seorang gubernur dan bupati. Salah satunya bahkan merugikan keuangan negara mencapai ratusan miliar rupiah. Hasil penebangan kayu ilegal senilai Rp 346 miliar itu, menurutnya, dinyatakan Jasin telah disetor KPK ke ke kas negara melalui Menteri Keuangan.
Namun, menurut Manajer Informasi TII Ilham Saenong, persoalan yang sangat krusial bagi pemberantasan korupsi di banyak negara, termasuk Indonesia adalah pelemahan terhadap lembaga seperti KPK. Soalnya, KPK mengalami gesekan dengan berbagai pihak, lantaran telah menindak banyak pelaku korupsi. “Pelemahan KPK sangat terasa karena banyak pihak yang merasa terancam dengan penindakan yang dilakukan KPK,” katanya saat dihubungi, kemarin.
Disamping itu, lanjut Ilham, terdapat pula ancaman lainnya yaitu pengurangan sumber daya atau anggaran. “Ini sudah dibuktikan di Indonesia dengan minimnya anggaran yang diberikan kepada KPK, disamping masalah Bibit dan Chandra,” tegasnya.
Menanggapi hal itu, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial Sardan Marbun menyatakan, KPK tidak dalam posisi yang dilemahkan. Keterangan bahwa lembaga superbodi itu sedang dilemahkan, menurutnya, merupakan isu yang harus dikaji kembali. “Saya belum menemukan bukti yang nyata mengenai pelemahan terhadap KPK,” katanya, saat dihubungi, kemarin.
Masalah dua pimpinan KPK yang masuk proses hukum, menurut Sardan, jangan dianggap sebagai bukti pelemahan. “Anggaplah itu sebagai suatu kasus yang harus diproses secara hukum,” ujarnya.
Meski begitu, Sardan mengapresiasi terselenggaranya acara tersebut. Soalnya, menurut dia, acara itu merupakan salah satu bentuk perwujudan memerangi korupsi di seluruh dunia. “Saya rasa itu sangat bagus. Yang namanya korupsi itu haruslah diberantas sampai ke akarnya. Ini yang sering kali disampaikan Pak Presiden,” katanya.
Sementara itu, TII dalam acara yang digelar pada 10-13 November itu mendesak dunia bekerja sama dan lebih bersungguh-sungguh mengupayakan pengembalian aset-aset yang dicuri para koruptor. “Karena meski beberapa usaha pengembalian aset berhasil, banyak negara mengalami kesulitan melacak dan mendapatkan aset serta uang yang dimiliki koruptor di luar negeri,” kata Ilham Saenong.
Menurut Ilham, selama ini para koruptor masih sangat leluasa dengan hukuman penjara. Hal itu merupakan suatu masalah yang harus diselesaikan, bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. “Makanya kami mengatakan di forum itu agar para koruptor, selain mendapatkan penjara juga harus dimiskinkan. Hal itu untuk mendapatkan efek jera,” imbuhnya.
Deponeering Tak Kunjung Resmi
Meskipun akhirnya Kejaksaan Agung memilih opsi mendeponir (mengenyampingkan) kasus Bibit-Chandra, Korps Adhyaksa belum secara resmi mengeluarkan surat ketetapan mengenai perkara tersebut.“Belum ada surat resmi itu,” kata Kepala Humas KPK Johan Budi Sapto Prabowo saat dihubungi, kemarin.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap menyatakan, deponeering itu sudah pasti. Namun, surat resminya masih dalam proses di kejaksaan.
Menurut Babul, dipilihnya deponeering merupakan hasil rapat evaluasi pimpinan Kejagung dengan tim pengkaji kasus Bibit-Chandra. Sehingga, lanjut dia, pihaknya amat serius mempersiapkan surat resmi deponeering untuk kepada kedua Wakil Ketua KPK tersebut.
Meski begitu, Babul tidak bisa memastikan kapan surat resmi tersebut keluar. “Itu masih dalam kuasa tim yang menangani, saat ini saya belum mengetahui kapan surat resmi itu akan dikirimkan,” katanya beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Johan Budi mengatakan, deponeering baru sebatas pernyataan, belum pada tataran resmi, yaitu mengeluarkan surat tersebut. Menurutnya, kasus yang melibatkan dua pimpinan KPK tersebut membuat kinerja KPK sedikit melemah, karena harus menangani maslah tersebut.
Soal deponeering ini pertama kali disampaikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Muhammad Amari. “Kalau sikap sudah, kita akan ambil deponeering,” kata Ketua Tim Pengkaji Kasus Bibit-Chandra ini pada Senin (25/10).
Tak lama setelah penjelasan Amari itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Babul Khoir Harahap menggelar jumpa pers di Kejaksaan Agung. Menurut Babul, Kejaksaan menyelenggarakan rapat pimpinan menyikapi putusan Mahkamah Agung yang menolak PK kasus Bibit-Chandra.
Menurut Babul, dari rapat itu ditarik kesimpulan, kejaksaan akan mempertimbangkan dua opsi, yakni melimpahkan perkara ke pengadilan negeri, atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Babul mengatakan, yang akan membahasnya adalah tim evaluasi dan pengkajian yang dipimpin JAM Pidana Khusus Amari. Akhirnya, Kejagung memilih opsi deponeering kasus dugaan pemerasan terhadap Anggodo Widjojo ini. Sementara itu, di Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Anggodo terbukti bersalah dalam kasus upaya penyuapan terhadap pimpinan KPK.
Minta KPK Lebih Berani
Asep Iwan Iriawan, Pengamat Hukum Trisakti
KPK diminta lebih berani menghadapi isu pelemahan setelah mengikuti konferensi internasional anti-korupsi di Bangkok, Thailand. Soalnya, keberanian menghadapi persoalan seperti itu, merupakan modal yang sangat penting untuk keberlangsungan pemberantasan korupsi.“Bagaimana KPK mau kuat kalau diterpa isu seperti itu saja sudah lemah. Yang namanya lembaga pemberantasan korupsi, pasti selalu menghadapi ancaman. Sekarang tinggal KPK bisa menyikapinya dengan tepat atau tidak,” kata pengamat hukum dari Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, kemarin.
Menurut Asep, sudah seharusnya lembaga pemberantas korupsi itu meningkatkan kembali kinerjanya seperti awal pendiriannya. “Saya sendiri tidak mengerti, apa sebenarnya yang ditakuti KPK, sehingga akhir-akhir ini terasa sangat lemah,” ujarnya.
Padahal, menurut Asep, berdirinya KPK sudah berdasarkan kekuatan hukum yang riil. Sehingga, lanjut dia, tidak perlu ada yang ditakuti lagi. “KPK secara yuridis sudah mempunyai kekuatan hukum yang nyata. Apalagi orang-orang yang duduk di sana bukanlah orang-orang yang lemah,” tandasnya.
Asep mencontohkan, pada dasarnya lembaga yang bermarkas di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan itu bisa melakukan supervisi terhadap kasus yang menjerat Gayus Tambunan. Namun, kata dia, sepertinya KPK belum terpanggil hatinya untuk melakukan supervisi terhadap perkara Gayus itu..
Perihal pengembalian aset yang dicuri para koruptor, Asep meminta jangan hanya asetnya saja yang dikembalikan. Akan tetapi, lanjut dia, para pelakunya juga harus diberi hukuman yang seberat-beratnya. “Bahkan, saya mengusulkan untuk dihukum mati saja para koruptor itu. Sementara ini, yang ditindak hukuman mati hanya para teroris, padahal koruptor itu jauh lebih jahat dari teroris,” tegasnya.
Menurut Asep, hukuman mati bagi koruptor yang telah merugikan negara barulah bisa dikatakan sebanding dengan apa yang telah diperbuatnya. “Sehingga, jika ada orang yang ingin korupsi akan mikir 10 ribu kali,” imbuhnya.
Menurun Setelah Era Antasari
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Deding Ishak meminta KPK dan LSM pemantau korupsi meningkatkan kinerjanya setelah mengikuti konferensi anti-korupsi internasional ke-14 di Bangkok, Thailand.“Ini momen yang baik untuk bertukar pikiran dan menerapkan di Indonesia apa yang mereka dapat untuk perang melawan korupsi,” katanya, saat dihubungi, kemarin.
Sebagai anggota Komisi Hukum DPR, Deding tidak melihat KPK sedang dilemahkan. Adapun mengenai beberapa petinggi KPK yang pernah berurusan dengan hukum, Deding melihatnya hanya sebagi suatu proses yang harus dijalani mereka yang diduga bersalah.
“Saya tidak melihat KPK dilemahkan kok, yang ada harusnya KPK sebagai lembaga ad hoc meningkatkan kinerjanya. Soal mendapatkan ancaman itu biasa. Sebagai lembaga yang menangani kasus korupsi, pasti akan selalu menghadapi masalah seperti itu,” katanya.
Menurut Deding, tidak ada lembaga penegak hukum yang berusaha melemahkan KPK. Sehingga, KPK tidak perlu merasa risau soal banyaknya pimpinan mereka yang terjerat masalah hukum. “Justru sebaliknya, KPK harus menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum yang berkomitmen untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya,” ujar politikus Golkar ini.
Dia juga menyeru kepada KPK agar meningkatkan koordinasi, monitoring dan supervisi supaya lembaga independen ini mendapat acungan jempol dari masyarakat. “Jika dibandingkan era Antasari jelas sangat menurun, tapi KPK masih bisa melakukan tugasnya dengan meningkatkan monitoring dan supervisi terhadap suatu perkara yang dinilai tidak jelas,” ucapnya.
Deding juga meminta KPK berani menjalankan wewenangnya mensupervisi suatu perkara yang tengah ditangani lembaga penegak hukum lain. “Seharusnya KPK bisa mempraktekkan ilmu yang didapat pasca konferensi itu, untuk mensupervisi kasus Gayus,” sarannya. [RM]
0 komentar to Korupsi Hutan 346 Miliar Dibawa Ke Ajang Dunia