Rabu, 10 November 2010 , 04:41:00 WIB
![]() |
Padahal, di luar kawasan itu ditengarai tidak dikenakan sewa. Jumlahnya pun diduga ratusan titik. Diduga, terjadi penguapan retribusi berjumlah miliaran karena tidak masuk ke kas daerah.
Bahkan, dugaan tersebut sudah menjadi rahasia umum di kalangan pengusaha dengan oknum pejabat di Pemprov DKI. Soalnya, bagi pengusaha, tidak adanya NSR justru menguntungkan.
“Jika jumlah pajak dari reklame selama ini sekitar Rp 225 miliar, jumlah retribusi yang tidak masuk ke kas daerah dari NSR di titik itu jumlahnya hampir sama dengan jumlah pajak itu,” ujar Ketua Serikat Pengusaha Reklame Jakarta (SPJR) Didi O Affandi.
NSR yang seharusnya disetorkan dibagi dua. Yakni antara pengusaha bersangkutan dengan oknum pejabat. Ditanya siapa oknum pejabat dan oknum pengusaha itu, Didi enggan menyebutkan.
“Saya tidak mau menyebut itu oknum. Jika merujuk pada Perda Nomor 7 tahun 2004 tentang reklame, tidak ditariknya NSR pada titik swasta di luar white area dan kendali ketat berarti melanggar. Tapi mau menarik atau tidak, itu juga haknya asisten pembangunan. Tidak bisa dipersalahkan. Mereka kan menggunakan haknya tidak menarik NSR,” terangnya.
Keberadaan NSR memang sejak lama menjadi kontroversi. Dalam Perda Nomor 7 tahun 2004 tentang reklame Pasal 4 Ayat 1 disebutkan, setiap pemanfaatan titik reklame pada sarana dan prasarana kota dikenakan sewa titik reklame.
Sementara pada Pasal 6 Ayat 1 disebutkan, pemanfaatan titik reklame di luar sarana dan prasarana kota dikenakan NSR. Persoalan muncul ketika pemanfaatan titik reklame tertentu di luar sarana dan prasarana kota dengan persetujuan prinsip dari asisten pembangunan.
“Persetujuan prinsip ini kemudian dianggap izin. Padahal tidak. Kalau instansi lain tidak memperbolehkan, izin tentu tidak bisa diterbitkan,” ungkapnya.
Sesuai amanat Perda, lanjut Didi, sewa atau NSR seharusnya ditetapkan untuk seluruh zona reklame. Jika ada titik-titik yang tidak ditetapkan NSR-nya, hal itu perlu diselidiki lebih lanjut. Mengingat tidak dipungutnya NSR berarti telah merugikan daerah. Baik itu dibiarkan tanpa ditarik, atau ditarik namun tidak masuk kas daerah.
Bahkan, yang mengherankan, menurutnya, selain ada yang tidak ditarik, ada juga yang ditarik ganda. Satu titik muncul dua perintah membayar NSR dengan jumlah yang berbeda.
Buruknya sistem penyelenggaraan reklame tersebut, masih menurut Didi, sempat dikeluhkan di hadapan Dinas Pelayanan Pajak. Sehingga diusulkan dinas ini bersedia mengurus banyaknya NSR titik reklame yang terbengkalai tersebut. Namun, instansi penarik pajak itu enggan melakukannya dengan alasan tertentu.
Sementara Pemprov, dari waktu ke waktu tidak memiliki ketegasan soal reklame dengan belum adanya Pergub. SK penyelenggaraan reklame yang saat ini digunakan mengacu kepada aturan lama. Yakni, Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 37 tahun 2000 dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 112 tahun 2000.
Hingga saat ini, kedua aturan itu masih terus digunakan meskipun sudah muncul Perda Nomor 7 tahun 2004. Sesuai ketentuan, jika muncul aturan baru, aturan lama secara otomatis gugur. Yang menjadi persoalan, aturan baru belum ada aturan pelaksananya hingga saat ini dalam bentuk Pergub serta aturan lainnya.
“Saya juga perlu mengklarifikasi soal white area. Sarana kota tidak termasuk. Yang dilarang itu titik tumbuh atau setiap reklame yang menggunakan konstruksi. Itu 200 meter harus streril dari white area,” pungkasnya.
Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Sukri Bey mengaku khilaf atas munculnya pelelangan titik reklame di kawasan white area. Munculnya titik reklame white area yang dilelang sebagaimana tercantum dalam pengumuman lelang tertanggal 1 November 2010 di salah satu media massa itu dianggapnya sebuah keteledoran.
“Kami harus berani mengakui secara gentle. Kami memang khilaf soal itu (lelang reklame di white area). Sehingga, khusus titik jembatan penyeberangan orang (JPO) Jalan Sudirman dibatalkan atau dicabut,” aku Sukri.
Dalam pengumuman lelang reklame bernomor 15/LLG/PPTR/XI/2010 itu, ada delapan titik reklame di Jakarta Pusat yang dilelang. Salah satunya masuk kawasan white area. Yakni, titik JPO Jalan Jendral Sudirman depan Gedung Bank Permata/Hotel Le Meridien Kecamatan Tanah Abang. Lelang titik reklame pada sarana dan prasarana kota dilakukan berdasarkan Nota Dinas Nomor 4350/-1.752.11 tanggal 18 Oktober 2010.
“Billboard dan JPO memang tidak boleh. Yang masih terpasang sampai jatuh tempo tidak dilelang lagi. Kalau kemarin yang dilelang ada 10 titik, dibatalkan satu titik. Jadinya sembilan titik,” ungkapnya.
Namun, beberapa titik reklame lain di JPO tetap akan dilelang lantaran tidak termasuk di kawasan white area. Diakui Sukri, white area akan diprioritaskan di Jalan Sudirman-Thamrin. Lalu Jalan Gatot Subroto, seputar Monas, Tugu Tani, pospol, titik interchange seperti Semanggi, Pluit dan Cawang.
Sementara JPO dan halte bus yang sebelumnya juga disebut white area, Sukri mengklarifikasi, tetap boleh dilelang sepanjang tidak berada di area Sudirman-Thamrin, seperti dilelangnya titik reklame di 200 halte bus. Namun jika titik-titiknya tidak berada di Sudirman-Thamrin, dia menjelaskan, tetap diperbolehkan.
Menurut Sukri, kawasan white area akan dilaksanakan secara konsisten lantaran sudah ada komitmen bersama dan dijaga, meskipun secara hitam putih aturannya belum ada.
Pada awal 2011, reklame di kawasan white area sudah habis, termasuk di JPO. Saat ini yang tersisa hanya reklame di sebelah Kedutaan Jerman.
“Rencananya, agar penanganan reklame tidak tumpang tindih, akan dibuat UPT (Unit Pengelola Teknis-red) yang secara khusus mengurusnya. Ancang-ancangnya, UPT berada di bawah Dinas Pelayanan Pajak. Sehingga, pelayanan reklame satu pintu. Tidak lintas SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah –red) seperti saat ini,” terangnya.
Sementara terkait NSR yang tidak memiliki patokan baku, hal itu lantaran titik-titik tertentu nilainya berkembang. Sehingga, berapa nilai sewa tidak bisa dipatok dengan angka pasti. Setiap tahun bisa berubah. Antara titik yang strategis dan tidak strategis berbeda nilainya dan bisa bergeser setiap saat.
“Jadi menghitungnya saat akan dilakukan lelang. Kalau ekonomi tumbuh baik, apa nilai tetap? Kan tidak. Ada hitungannya itu. Dibuat konsultan UI dan masih layak. Payung hukumnya SK gubernur,” terangnya.
Lebih Rp 225 M Menguap
dugaan menguapnya retribusi daerah dari nilai strategis reklame (NSR) ditengarai melebihi Rp 225 miliar. Hal itu berdasarkan informasi yang masuk ke Komisi C DPRD DKI.
“Pajak itu hanya komponen yang paling kecil. Kami dapat informasi, retribusi yang menguap melebihi Rp 225 miliar atau di atas pemasukan pajak reklame,” ujar anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta Mujiono.
Diakuinya, NSR yang seharusnya masuk ke kas daerah melalui pendapatan lain-lain selama ini tidak pernah dilaporkan secara rinci. Misalnya, berapa jumlahnya dan didapat dari berapa titik.
Hal itu memang sangat rentan menjadi ‘ladang’ bagi oknum pejabat lantaran besaran retribusi yang masuk bisa dimanipulasi. Dari pengakuan para pengusaha yang mengadu ke Komisi C, para pengusaha sangat sepakat jika pajak reklame dinaikkan hingga 200 persen.
Asalkan, pungutan liar yang selama ini terjadi bisa diberantas habis. Mengingat, setoran setiap titik untuk mengurus ijin reklame jumlahnya berlipat ganda. Jika dirata-rata sekitar lima persen dari total produksi.
Belum adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan reklame, diakui Mujiono memang dilematis. Seperti NSR, sesuai Perda Nomor 7 tahun 2004 tentang reklame Pasal 4 Ayat 1, setiap pemanfaatan titik reklame pada sarana dan prasarana kota dikenakan sewa titik reklame.
Sementara pada Pasal 6 Ayat 1, pemanfaatan titik reklame di luar sarana dan prasarana kota dikenakan NSR. Meskipun belum ada turunan Pergub atau keputusan gubernur sebagai turunan dari Perda Nomor 7 tahun 2004, tidak memungut NSR tetap saja melanggar ketentuan. Apalagi, lanjutnya, jika dipungut dan retribusi tidak masuk ke kas daerah.
Pihaknya mendesak Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo menyelidik lebih lanjut keganjilan itu. Apa yang menjadi dasar pejabat terkait tidak memungut retribusi daerah dari NSR. Oknum pejabat instansi mana yang terlibat dan berapa kerugian daerah yang ditimbulkan.
Sebab, masih menurut Mujiono, tidak melaksanakan kewajiban memungut NSR yang telah diamanatkan perda atau menyelewengkan kewajiban yang berdampak pada kerugian negara bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Apalagi, jika NSR sebenarnya telah ditarik namun tidak masuk ke kas daerah.
“Selain NSR, ada pungutan lain yang cukup banyak. Ini yang selama ini dikeluhkan. Makanya, mereka sepakat saja jika pajak reklame dinaikkan 200 persen, asalkan pungutan liar bisa ditertibkan. Atau minimal dikurangi,” katanya.
Selain menyelidik kerugian daerah, Fauzi Bowo diharapkan juga bisa segera memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan reklame. Ada kepastian titik reklame, besaran retribusi dan besaran kepengurusan perijinan.
Seluruhnya harus memiliki payung hukum secara pasti turunan dari Perda Nomor 7 tahun 2004. Mengingat aturan pelaksana yang terus digunakan saat ini masih mengacu kepada aturan lama, dan sudah tidak banyak sesuai amanat Perda. Yakni, Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 37 tahun 2000 dan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 112 tahun 2000. [RM]
Baca juga:


0 komentar to Retribusi Gelap Reklame Diduga Dipungut Oknum Pemprov DKI