Warteg makin susah

Warteg di sebuah terminal bis di Jakarta Selatan.
[SRN] JAKARTA - Rencana pemberlakuan pajak banyak menuai kritik dari para pemilik warung tegal (warteg). Ratna, yang mempunyai warung di area terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan mengaku tak habis pikir dengan sikap pemerintah yang menagih pajak pendapatan bagi penjual warteg di Jakarta.
Dengan pendapatan Rp 300-500 ribu perhari, Ratna mengaku masih kekurangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. "Warung saya ini ngontrak mas, belum lagi gaji untuk dua pegawai saya," ungkapnya kepada tribunnews.com, Kamis (2/12/2010).
Ditambah, imbuhnya, ia harus membiayai ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. "Kalau harus dipotong 10%, nasib kami gimana nanti?," ucapnya.
Senada dengan Rudi, pemilik rumah makan yang terletak di sekitar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia mengatakan harusnya pemerintah berpikir dulu sebelum bertindak. Meski warungnya merupakan miliknya sendiri, namun omset penjualan nasi yang dijual tak terlalu signifikan.
"Kalau dengan omset Rp 167 ribu per hari harus bayar pajak keluarga saya bisa mati pelan-pelan," ujar Rudi.
Seperti diketahui pemerintah melalui Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta akan mengambil kebijakan untuk membayar pajak daerah bagi pemilik warteg. Ketentuan itu berlaku setelah DPRD DKI Jakarta menyetujui rencana penerapan pajak restoran terhadap segala jenis tata boga di Jakarta sebesar 10 persen.
Penetapan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak ini berlaku untuk seluruh jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari.[bb]
Dengan pendapatan Rp 300-500 ribu perhari, Ratna mengaku masih kekurangan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. "Warung saya ini ngontrak mas, belum lagi gaji untuk dua pegawai saya," ungkapnya kepada tribunnews.com, Kamis (2/12/2010).
Ditambah, imbuhnya, ia harus membiayai ketiga anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. "Kalau harus dipotong 10%, nasib kami gimana nanti?," ucapnya.
Senada dengan Rudi, pemilik rumah makan yang terletak di sekitar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia mengatakan harusnya pemerintah berpikir dulu sebelum bertindak. Meski warungnya merupakan miliknya sendiri, namun omset penjualan nasi yang dijual tak terlalu signifikan.
"Kalau dengan omset Rp 167 ribu per hari harus bayar pajak keluarga saya bisa mati pelan-pelan," ujar Rudi.
Seperti diketahui pemerintah melalui Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta akan mengambil kebijakan untuk membayar pajak daerah bagi pemilik warteg. Ketentuan itu berlaku setelah DPRD DKI Jakarta menyetujui rencana penerapan pajak restoran terhadap segala jenis tata boga di Jakarta sebesar 10 persen.
Penetapan tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak ini berlaku untuk seluruh jenis rumah makan dengan omzet Rp 60 juta per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 167.000 per hari.[bb]
real application Warteg tambah sengsara..