ANALISIS : Berharap pada Presiden ===> Oleh : Suharto

Posted by real application On Selasa, 28 September 2010 0 komentar
ANALISIS : Berharap pada Presiden ===> Oleh : Suharto
25/09/2010 09:32:10 ADA yang menarik dari laporan dana moneter internasional (IMF) yang baru-baru ini diumumkan di Jakarta. Biasanya laporan hanya berupa puja-puji tentang kehebatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya tidak hebat. Kali ini pun masih ada nada seperti itu, misalnya Indonesia menjadi Negara G20 yang tumbuh 4,5% tahun 2009 artinya nomor tiga setelah China dan India. Pujian lain adalah menurunnya rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), ini menjadi prestasi tersendiri di antara negara G20.
Namun di antara laporan keberhasilan tersebut ada peringatan yang sangat nyata dari IMF, yakni bahwa Indonesia tak akan mungkin berhasil menjadi negara dengan perekonomian moderen dan maju jika tidak segera melakukan pemberantasan korupsi dan menjamin kepastian hukum. Dalam laporan tersebut IMF juga memperingatkan investor asing untuk berhati-hati dalam berinvestasi di Indonesia karena persoalan korupsi, hukum dan buruknya tata kelola. Mampukah Indonesia merespons dengan langkah nyata peringatan tersebut?
Bukan rahasia umum lagi, bahwa korupsi memang semakin merajalela di Indonesia justru pada era reformasi. Hal ini tentu sangat ironis karena salah satu amanat reformasi adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi menggurita dari pusat hingga daerah dan dengan modus operandi yang beraneka ragam. Dampak korupsi terhadap perekonomian masyarakat sangatlah nyata terutama pada jumlah kemiskinan yang tidak dapat dikurangi secara nyata. Pemerintah boleh saja menyatakan bahwa kemiskinan telah turun tetapi hanya memanipulasi ukuran kemiskinan, jika konsisten dengan ukuran umum internasional jumlah orang miskin tak kurang dari 100 juta orang.
Di sisi lain korupsi telah membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat rendah. Pasca reformasi pertumbuhan ekonomi tak pernah menyentuh angka 7%, dimana China dan India dapat melampaui angka 10%. Angka 7% adalah angka psikologis karena menurut badan PBB yang mengurusi masalah ekonomi dan sosial Asia Pasifik (ESCAP), setiap pertumbuhan 7% maka kemiskinan akan berkurang satu juta orang. Jika kita mampu tumbuh sedikitnya 7% maka kemiskinan baru akan tuntas 100 tahun. Rendahnya pertumbuhan ekonomi sudah pasti karena dana pemerintah (APBN) tergerus oleh korupsi. APBN dua tahun terakhir sudah melampaui hitungan 1.000 triliun atau 3 atau 4 kali lipat dibandingkan APBN delapan tahun yang lalu, tetapi infrastruktur ekonomi tetap buruk. Listrik tak kunjung membaik, transportasi publik tetap macet, dan kualitas pelayanan pemerintah tetap buruk.
Korupsi di Indonesia manivestasinya sangat beragam, ada yang langsung mengambil uang negara ada pula yang menggerogoti potensi ekonomi nasional. Mekanisme penyusunan anggaran dari pusat dan daerah sangat rawan terjadinya kegiatan fiktif maupun penggelembungan nilai anggaran. Ada pula korupsi secara terstruktur dengan membuat anggaran yang mudah digunakan untuk memperkaya diri seperti pembangunan gedung, perjalanan dinas, belanja barang dan rapat-rapat. Korupsi menjadi sulit diatasi karena di antara lembaga negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif saling tahu sama tahu dan terjadilah simbiosis mutualisme di antara perampok negara. Rencana pembangunan gedung DPR, studi banding ke luar negeri, dana aspirasi dan akal-akalan lain adalah contoh bagaimana modus merampok uang rakyat secara sistemik. Hal sama juga terjadi di pemerintahan dalam berbagai bentuk termasuk anggaran fasilitas pejabat. Kasus Bank Century tentu saja merupakan kongkalikong tingkat tinggi dalam perampokan uang rakyat.
Pemberantasan korupsi di Indonesia sangatlah tergantung dari kemauan politik pimpinan tertinggi negeri ini. Karena korupsi sudah melibatkan hampir seluruh lapisan aparatur negara dan dilakukan secara berjamaah (sistemik) maka harapan terbesar ada di pundak presiden. Tetapi jika ditilik dari beberapa keputusan presiden yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi justru kontra produktif. Pemberian grasi dan remisi kepada napi koruptor secara membabi buta oleh pimpinan tertinggi negara jelas akan menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini.
Peringatan IMF agar Indonesia serius melaksanakan pemberantasan korupsi seharusnya menjadi momentum yang baik untuk segera direspons pemerintah. Komitmen pemerintah dalam hal ini presiden harus ditunjukkan secara nyata dan bukan wacana saja. Penentuan pimpinan KPK dan penggantian jaksa agung adalah momentum untuk memperbaiki diri. (Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi FE UII)

0 komentar to ANALISIS : Berharap pada Presiden ===> Oleh : Suharto

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.