215 Triliun Membayar Gaji PNS

Posted by real application On Minggu, 21 Agustus 2011 1 komentar

ILUSTRASI, PNS
 
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja tahun 2012 (RAPBN 2012) yang disampaikan Presiden SBY 16 Agustus lalu posturnya tidak banyak berbeda dengan APBN Perubahan tahun ini, sama-sama  tidak pro pada kesejahteraan rakyat.
Postur RAPBN 2012 meng­gambarkan orientasi APBN yang lebih pro-aparat birokrasi di­bandingkan kesejahteraan rakyat miskin. Padahal seharusnya re­formasi birokrasi mampu mem­buat belanja birokrasi semakin efisien, bukannya justru terus mem­­bengkak setiap tahunnya.
Hal ini dapat ditunjukkan dari be­sarnya belanja pegawai yang mencapai Rp. 215,7 triliun atau meningkat Rp 32,8 triliun untuk 4,7 juta pegawai dibandingkan ta­hun sebelumnya. Sementara ang­garan pengentasan kemiskinan yang notabene untuk 31 juta pen­duduk miskin, justru tetap diki­saran Rp 50 triliun. Dibanding­kan dengan belanja pegawai, be­lan­ja modal hanya mendapat tam­bahan Rp 27,1 triliun menjadi Rp 168,1 triliun.
Contoh lainnya, meskipun ang­garan kesehatan seharusnya men­jadi prioritas, namun dalam RAPBN 2012 hanya dialokasi­kan Rp 14,4 triliun atau sama de­ngan 1 persen dari belanja Ne­gara. Masih jauh dari amanat un­dang-undang sebesar 5 persen.
“Itu artinya RAPBN 2012 tidak memiliki visi untuk mense­jahte­rakan rakyat,” kata anggota Koa­lisi APBN untuk Kesejehteraan Rak­­yat, Yuna Farhan kepada Rak­yat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Padahal, kata dia, setiap tahun, penerimaan negara dari pajak se­lalu naik tinggi. Pada APBN 2009, penerimaan pajak tercatat se­­besar Rp 725,8 triliun. Pada APBN tahun 2010, jumlah pene­rimaannya naik menjadi Rp 742,7 triliun. Lalu pada APBN tahun 2011 pendapatannya naik lagi men­­jadi sebesar 850,2 triliun. Ke­mudian pada RAPBN 2012, jum­lah­nya diperkirakan akan menga­la­­mi kenaikan menjadi Rp 1.019,3 ­triliun.
Menurut Yuna, dari sisi pem­bia­yaan orientasi peyusunan ang­garan belum bergeser dari ke­man­dirian terhadap utang. Postur APBN masih dibebani pembaya­ran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri da­lam jumlah yang sangat besar.
Akibatnya, penyusunan RAPBN­ 2012 hanya dijadikan upaya untuk meneruskan pem­bua­tan utang-utang baru dari pe­ner­bitan Surat Berharga dan Utang luar negeri.
Sekretaris Jendral (Sekjen) Fo­rum Indonesia untuk Transparan­si Anggaran (FITRA) menduga, penarikan utang pada tahun 2012 diprediksi akan semakin mening­kat, seiring dengan kebutuhan un­tuk membiayai defisit APBN se­besar Rp 125,6 triliun, dan ke­wa­jiban jatuh tempo pembayaran ci­cilan pokok utang luar negeri dan dalam negeri serta biaya untuk penerbitan surat berharga negara. Kondisi ini jelas akan mening­katkan nominal utang pemerintah yang saat ini berjumlah Rp 1.733,64 triliun pada posisi Juli 2011.
“Dengan demikian, postur RAPBN 2012 sesungguhnya ma­sih disandera kebijakan penam­bahan dan pembayaran utang yang besar,” terang Yuna.
Hal yang sama juga terjadi pa­da APBN Perubahan 2011 yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 yang ha­ny­a mengalokasikan anggaran un­tuk kesehatan sekitar 1,5 per­sen.
Selain lebih kecil dari alokasi anggaran yang ditentukan dalam Undang-Undang Kesehatan yaitu sebesar 5 persen, APBN 2011 juga tidak mampu mengakomo­dir kebutuhan akan layanan kese­ha­tan masyarakat yang mensya­ratkan adanya keterjangkauan akses dan mutu layanan keseha­tan.
“Fakta yang mengemuka se­bagai bukti dari tidak terpenuhi­nya kemakmuran rakyat dalam bidang kesehatan dapat dilihat dari berbagai kasus seperti dito­lak­nya masyarakat (pasien) mis­kin pada saat berusaha untuk mem­peroleh layanan kesehatan serta tingginya harga obat-oba­tan,” paparnya.
Anggaran belanja dalam APBN 2011 lebih banyak diper­gu­nakan untuk kepentingan be­lanja pegawai negeri sipil (PNS). Anggaran sebesar Rp 180,8 tri­liun dialokasikan untuk kebutu­han belanja pegawai 4,7 juta PNS. Jumlah ini jelas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran untuk 31,02 juta jiwa penduduk miskin yang hanya mendapatkan Rp 50,3 triliun.
Lebih parah lagi, APBN 2011 banyak dialokasikan untuk be­lanja yang tidak jelas kontribu­sinya bagi kemakmuran rakyat, seperti Studi Banding, Anggaran Pembangunan Gedung DPR, biaya pembangunan gedung baru DPR, anggaran pembelian pe­sawat Presiden.
“Rakyat miskin semakin jauh dari standar kehidupan yang la­yak, dan negara tidak menyedia­kan cukup modal untuk membe­rantas kemiskinan tersebut,” sesalnya.
Yang lebih ironis lagi, instansi-instansi pemerintah justru ramai-ramai mengajukan penambahan anggaran. Berdasarkan hasil ka­jian Koalisi APBN Untuk Kese­jah­teraan Rakyat setidaknya ada 15 Kementerian yang mengalami kenaikan yang cukup besar. Ke­menterian Pertahanan men­dapat alokasi anggaran terbesar diban­ding kementerian/lembaga lain­nya.
Koalisi APBN untuk Kesejah­te­raan Rakyat adalah teridiri dari Indonesian Human Rights Com­mittee for Social Justice, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran, Prakarsa Masyarakat untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif, Koalisi Anggaran Independen, Perhim­punan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Asosiasi Pen­damping Perempuan Usaha Ke­cil, Publish What You Pay, dan Koa­lisi Anti Utang.
Kementerian ini mendapat kenaikan anggaran sebesar Rp 16,9 triliun atau 35,7 persen men­jadi Rp 64,4 triliun dalam RAPBN 2012. Rencananya alo­ka­si tersebut sebagian besar untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Sementara kementerian lain yang juga mendapat kenaikan yang cukup signifikan, yakni Ke­menterian Perhubungan yang men­jadi Rp 26,8 triliun, Kemen­te­rian Kelautan dan Perikanan men­jadi Rp 5,9 triliun, dan Ke­men­terian Agama menjadi Rp 37,3 triliun. Total anggaran untuk 15 K/L tersebut mencapai Rp 401,5 triliun.
“Permintaan kenaikan angga­ran tersebut diajukan atas nama ke­­butuhan, di mana anggaran yang digunakan salah satu sumber dananya berasal dari utang. Padahal masyarakat tidak pernah merasakan secara langsung dam­pak dari kenaikan tersebut,” kata  anggota Koalisi APBN Untuk Ke­sejahteraan Rakyat, Abdul Waidl.
Abdul menduga, hal itu terjadi karena tidak adanya transparansi mengenai berapa sebenarnya pe­neri­maan pajak negara setiap ta­hunnya, sektor mana saja pe­nyum­­­bang pajak, dan besaran ma­sing-masing sektor, serta bagai­mana audit penerimaan negara dilakukan. Bahkan Badan Peme­rik­sa Keuangan tidak bisa meng­audit penerimaan pajak.
“Ini merupakan hal yang aneh dan sulit diterima ditengah kebe­basan memperoleh informasi yang dijamin undang-undang lain­nya,” sesalnya.
Sekjen LSM Koalisi Anggaran Independen ini menyimpulkan, kalau APBN 2011 bertentangan kons­titusi yang memandatkan pengelolaan anggaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dia bersa­ma rekan-rekan lainnya di Koa­lisi APBN untuk Kesejahteraan Rak­yat menuntut agar APBN 2011 direvisi dengan mengede­pan­kan semangat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini dilakukan, agar RAPBN 2012 yang akan dibahas DPR dan Pemerintah memper­hatikan mandat konstitusi yang seharusnya ditaati. “Secepatnya  kami akan mengajukan judicial review terhadap APBN 2011 ke Mahkamah Konstitusi. Mudah-mudahan bisa diputus sebelum APBN 2012 di ketuk palu agar putusan itu dijadikan masukan bagi APBN 2012,” ujarnya pe­nuh harap.
Sebelumnya Kepala Badan Pe­rencana Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Menteri PPN, Armida Alisjahbana menjelas­kan, total anggaran untuk 15 ke­menterian dan lembaga negara ter­­sebut mencapai Rp 401,5 tri­liun, padahal pemerintah hanya menganggarkan Rp 476,6 triliun untuk 80 K/L. Dengan demikian sisa 65 K/L lainnya hanya mem­peroleh Rp 75,1 triliun.
Kementerian Pertahanan men­dapat kenaikan anggaran sebesar Rp 16,9 triliun atau 35,7 persen menjadi Rp 64,4 triliun dalam RAPBN 2012. Kementerian ini men­dapat alokasi anggaran ter­be­sar dibanding kementerian/lem­baga lainnya. “Alokasi terse­but sebagian besar untuk peng­a­daan alat utama sistem persen­ja­ta­an (alutsista),” terangnya.
Tak Ada Jalan Lain, Hentikan Rekrutmen PNS
Abdul Malik Haramain, Anggota Komisi II DPR
Besarnya dana APBN yang ter­serap untuk belanja pegawai ter­jadi karena tidak adanya pe­ren­canaan yang matang dalam hal rekrutment Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Permasalahan overloadnya be­ban belanja pegawai ini bukanlah hal baru. Selama ini belanja pega­wai menyedot 60 persen hingga 75 persen dana APBN dan APBD. Kelebihan pegawai ini ke­rap terjadi karena banyaknya ke­nakalan yang dilakukan ok­num-oknum di daerah saat re­krut­men.
“Para oknum itu sering nitip ca­lon PNS. Hal inilah yang mem­buat jumlah PNS kerap melebihi kebutuhan. Komisi II DPR sudah lama mengkritisi hal ini dengan menanyakan masalah ini kepada Kementerian Dalam Negeri  dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,” kata Anggota Komisi II DPR, Abdul Malik Haramain, kemarin.
Menurutnya, postur belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2012 menunjukkan kalau bebera­pa alokasi belanja mengalami pe­ningkatan. Kenaikan alokasi ter­besar pada belanja lain-lain yang tercatat naik Rp 18,9 triliun, dan diikuti belanja pegawai naik Rp 32,9 triliun, belanja modal Rp 27,2 triliun, dan pembayaran bunga utang Rp 123,07 triliun Rp 16,5 triliun.
Sementara belanja pemerintah pusat yang mengalami penurunan adalah belanja barang sebesar Rp 4,3 triliun, belanja subsidi Rp 28,3 triliun, dan anggaran ban­tuan sosial Rp 18,2 triliun.
Anggota DPR dari daerah pe­milihan Jawa Timur II ini menga­ta­kan, untuk menyelesaikan ma­sa­lah ini ada tiga hal yang harus di­la­ku­kan Kemendagri dan Ke­menpan RB.
Pertama, memberhentikan re­kruit­men pegawai, agar tidak ada lagi penambahan pegawai dalam waktu dekat. Kedua, membuat grand design mengenai kepega­wa­ian baik untuk pemerintah pusat ataupun daerah. Tujuannya supaya tidak ada lagi kelebihan pe­gawai saat melakukan re­krut­men.
Ketiga, melakukan evaluasi terhadap kompusisi pegawai pada pemerintah pusat dan daerah, sebagai bentuk penerapan dari grand design kepegawaian.
Pria berkacamata ini menjelas­kan, terkait dengan banyaknya instansi yang meminta tambahan anggaran, Malik menilai hal seba­gai sesuatu yang tidak bisa dihin­dari. Pasalnya tingginya jumlah PNS yang ada di instansi tiap ta­hunnya membuat anggaran yang dibutuhkan juga semakin besar. “Akibatnya kebutuhan untuk menaikkan anggaran juga tidak ter­hindarkan,” ujar Malik.
Malik berharap, agar grand de­sign kepegawaian tersebut bisa diselesaikan sebelum akhir tahun 2012. Pasalnya Komisi II DPR me­nargetkan bisa digunakan un­tuk tahun 2013.
“Kalau untuk anggaran tahun 2012 kan sudah hampir final. Jadi supaya masalah seperti ini tidak te­rulang lagi, saya berharap grand designnya bisa segera diperguna­kan,” tuturnya.
Saat ini, kata dia, Komisi II DPR sedang menunggu pemba­ha­san grand design tersebut de­ngan Kemendagri dan Kemen­pan RB. “Kita belum pernah mem­bahasnya. Mudah-mudahan bisa diagendakan pada masa si­dang ini. Karena kan lebih cepat lebih baik,” katanya.
Tidak Bisa Dihindari
Agus Martowardojo, Menteri Keuangan
Kenaikan belanja pegawai me­rupakan kenaikan dalam be­lanja yang tidak bisa dihindari, karena adanya kebijakan refor­masi dan birokrasi yang dite­tapkan pemerintah.
“Belanja pegawai cukup ting­gi dan itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena kita pun se­dang menyelenggarakan pro­gram reformasi birokrasi dan re­formasi birokrasi itu ma­sih ber­jalan di tahun 2011-2012,” kata Menteri Keuangan, Agus Marto­wardojo belum lama ini.
Namun, Agus menjelaskan, saat ini pemerintah sedang men­­cari solusinya dengan me­la­kukan kebijakan moratorium tambahan PNS di lingkungan kementerian ataupun lembaga negara. “Kita sebut moratorium selektif,” ucapnya.
Dengan adanya moratorium tersebut, maka ada bagian-ba­gian pada kementerian/lembaga negara tertentu yang harus me­nerima hanya sesuai dengan kebutuhan employee cycle-nya, yaitu bila ada yang pensiun dan selesai tugas mesti diganti po­sisinya. “Jadi, itu terkait belanja pegawai,” tukasnya.
Hany saja bekas Direktur Uta­ma Bank Mandiri ini masih enggan mengungkapkan ke­men­terian atau lembaga negara mana saja yang telah melaku­kan moratorium. “Saya belum bisa jelaskan, tapi ada semua ki­ta jelaskan di Menteri PAN-RB,” pungkasnya.
Tidak Ada Yang Luar Biasa
Ketut Untung Yoga Anna, Karo Penmas Mabes Polri
Kepala Biro Penerangan Ma­syarakat (Karo Penmas) Mabes Polri, Ketut Untung Yoga Anna mengatakan, besarnya ang­garan yang dialokasikan Polri untuk belanja pegawai memang tidak bisa dihindari. Pasalnya, jumlah aparat polri sangat be­sar, sehingga membutuhkan alo­­kasi anggaran yang besar ju­ga. “Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dengan kenaikan ter­sebut. Jumlah aparat kepolisian itu kan ada 400 ribu orang,” ka­tanya, pekan lalu.
Yoga mengungkapkan, dari anggaran sebesar Rp 34 triliun pada tahun 2012, sebesar Rp 23 triliun dialokasikan untuk be­lan­ja pegawai. Sisanya baru di­pergunakan untuk keperluan lain, seperti perawatan senjata. “Be­lanja pegawai itu kan bukan hanya gaji, tetapi juga termasuk tunjangan kesehatan dan lain-lain. Rp 23 triliun itu juga sudah termasuk kenaikan gaji 10 persen sesuai dengan ketentuan dari Presiden SBY kok,” te­rangnya.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Mabes Polri, Boy Ra­fli Amar mengatakan, angga­ran penegakan hukum, teruta­ma dalam penanganan perkara masih sangat minim. Padahal jumlah perkara yang ditangani Polri sangat banyak. “Diharap­kan ke depan ada peningkatan,” ucap­nya.
Belanja Modal Setara Subsidi BBM
Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef
Rancangan APBN 2012 di­­nilai belum mencerminkan prin­sip keadilan mengingat banyak alokasi anggaran yang salah sasaran dan kurang mens­ti­mulus perekonomian.
Selama ini kebijakan pro ke­pada penciptaan lapangan ker­ja, penuntasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi tidak ter­cermin dalam program-pro­gram pe­merintah maupun pos­tur APBN. Pada RAPBN 2012, ter­ja­di kemunduran karena alo­kasi belanja rutin justru me­ning­kat dari 78,49 persen di APBNP 2011 menjadi 80,43 persen.
“Anggaran bertambah besar, namun ruang gerak fiskal se­bagai stimulus perekonomian te­t­ap rendah. Anggaran untuk belanja modal  17,62 persen dan belanja sosial hanya 6,67 per­sen,” kata Direktur Ekse­ku­tif­ Indef, Enny Sri Hartati, ke­marin.
Enny mengungkapkan, in­ko­n­­­sistensi kebijakan anggaran terlihat dari porsi belanja pega­wai yang meningkat dari 20,14 persen di APBNP 2011, menjadi 22,61 persen di RAPBN 2012, atau mencapai Rp 215,7 triliun. “Gaji pegawai selalu naik, di sisi lain reformasi birokrasi gagal, pelayanan publik tetap rendah dankasus korupsi meningkat,” tuturnya.
Menurutnya, banyak alokasi anggaran yang tidak tepat sa­saran. Contohnya untuk subsidi BBM. Secara nominal memang por­sinya berkurang dari Rp 26,7 triliun menjadi Rp 168,6 tri­liun. Namun jumlah tersebut masih dianggap terlalu besar mengingat belum ada strategi distribusi yang jelas.
“Anggaran belanja modal Rp 168,6 triliun, hampir setara de­ngan subsidi BBM. Jadi sub­sidi dengan investasi itu setara. Ke­ti­daktepatan sasaran juga ada di anggaran transfer daerah yang sebagian besar untuk Dana Alo­kasi Umum, dimana rata-rata 70 persen digunakan membayar gaji pegawai,” jelasnya.
Dijelaskan, seharusnya ada ti­ga fungsi APBN, yakni fungsi re­­ferensi, fungsi stimulus, dan fungsi keadilan. Ia menilai sela­ma ini, APBN belum menja­lan­kan semua fungsi tersebut. [rm]

Baca juga:

Tunda Pemekaran Daerah dan Pengangkatan PNS Baru!
Aksi Kamisan Sudah 222 Kali, Tapi Pihak Istana Tetap Cuek
Bantuan SEA Games 2011 Cuma Terkumpul Rp 35 M
Merpati & Kejagung Sudah Angkat Tangan
Tahun ini Kejaksaan Cuma Tuntasin 64 Perkara Perdata

1 komentar to 215 Triliun Membayar Gaji PNS

  1. says:

    marianifen Dalam Rangka Menyambut Hari ulang tahun bolavita ke - 6 , bolavita akan memberika bonus freechip kepada
    semua member setia yang telah terdaftar dan bermain di bolavita.
    Syarat & ketentuan berlaku freechips deposit malsimal bonus 2.0000.000 IDR
    INFO Kontak Kami (24 jam Online):
    .
    • BBM: BOLAVITA
    • WeChat: BOLAVITA
    • WA: +62812-2222-995
    • Line : cs_bolavita

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.