Postur RAPBN 2012 menggambarkan orientasi APBN yang lebih pro-aparat birokrasi dibandingkan kesejahteraan rakyat miskin. Padahal seharusnya reformasi birokrasi mampu membuat belanja birokrasi semakin efisien, bukannya justru terus membengkak setiap tahunnya.
Hal ini dapat ditunjukkan dari besarnya belanja pegawai yang mencapai Rp. 215,7 triliun atau meningkat Rp 32,8 triliun untuk 4,7 juta pegawai dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara anggaran pengentasan kemiskinan yang notabene untuk 31 juta penduduk miskin, justru tetap dikisaran Rp 50 triliun. Dibandingkan dengan belanja pegawai, belanja modal hanya mendapat tambahan Rp 27,1 triliun menjadi Rp 168,1 triliun.
Contoh lainnya, meskipun anggaran kesehatan seharusnya menjadi prioritas, namun dalam RAPBN 2012 hanya dialokasikan Rp 14,4 triliun atau sama dengan 1 persen dari belanja Negara. Masih jauh dari amanat undang-undang sebesar 5 persen.
“Itu artinya RAPBN 2012 tidak memiliki visi untuk mensejahterakan rakyat,” kata anggota Koalisi APBN untuk Kesejehteraan Rakyat, Yuna Farhan kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
Padahal, kata dia, setiap tahun, penerimaan negara dari pajak selalu naik tinggi. Pada APBN 2009, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 725,8 triliun. Pada APBN tahun 2010, jumlah penerimaannya naik menjadi Rp 742,7 triliun. Lalu pada APBN tahun 2011 pendapatannya naik lagi menjadi sebesar 850,2 triliun. Kemudian pada RAPBN 2012, jumlahnya diperkirakan akan mengalami kenaikan menjadi Rp 1.019,3 triliun.
Menurut Yuna, dari sisi pembiayaan orientasi peyusunan anggaran belum bergeser dari kemandirian terhadap utang. Postur APBN masih dibebani pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam jumlah yang sangat besar.
Akibatnya, penyusunan RAPBN 2012 hanya dijadikan upaya untuk meneruskan pembuatan utang-utang baru dari penerbitan Surat Berharga dan Utang luar negeri.
Sekretaris Jendral (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menduga, penarikan utang pada tahun 2012 diprediksi akan semakin meningkat, seiring dengan kebutuhan untuk membiayai defisit APBN sebesar Rp 125,6 triliun, dan kewajiban jatuh tempo pembayaran cicilan pokok utang luar negeri dan dalam negeri serta biaya untuk penerbitan surat berharga negara. Kondisi ini jelas akan meningkatkan nominal utang pemerintah yang saat ini berjumlah Rp 1.733,64 triliun pada posisi Juli 2011.
“Dengan demikian, postur RAPBN 2012 sesungguhnya masih disandera kebijakan penambahan dan pembayaran utang yang besar,” terang Yuna.
Hal yang sama juga terjadi pada APBN Perubahan 2011 yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 yang hanya mengalokasikan anggaran untuk kesehatan sekitar 1,5 persen.
Selain lebih kecil dari alokasi anggaran yang ditentukan dalam Undang-Undang Kesehatan yaitu sebesar 5 persen, APBN 2011 juga tidak mampu mengakomodir kebutuhan akan layanan kesehatan masyarakat yang mensyaratkan adanya keterjangkauan akses dan mutu layanan kesehatan.
“Fakta yang mengemuka sebagai bukti dari tidak terpenuhinya kemakmuran rakyat dalam bidang kesehatan dapat dilihat dari berbagai kasus seperti ditolaknya masyarakat (pasien) miskin pada saat berusaha untuk memperoleh layanan kesehatan serta tingginya harga obat-obatan,” paparnya.
Anggaran belanja dalam APBN 2011 lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan belanja pegawai negeri sipil (PNS). Anggaran sebesar Rp 180,8 triliun dialokasikan untuk kebutuhan belanja pegawai 4,7 juta PNS. Jumlah ini jelas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran untuk 31,02 juta jiwa penduduk miskin yang hanya mendapatkan Rp 50,3 triliun.
Lebih parah lagi, APBN 2011 banyak dialokasikan untuk belanja yang tidak jelas kontribusinya bagi kemakmuran rakyat, seperti Studi Banding, Anggaran Pembangunan Gedung DPR, biaya pembangunan gedung baru DPR, anggaran pembelian pesawat Presiden.
“Rakyat miskin semakin jauh dari standar kehidupan yang layak, dan negara tidak menyediakan cukup modal untuk memberantas kemiskinan tersebut,” sesalnya.
Yang lebih ironis lagi, instansi-instansi pemerintah justru ramai-ramai mengajukan penambahan anggaran. Berdasarkan hasil kajian Koalisi APBN Untuk Kesejahteraan Rakyat setidaknya ada 15 Kementerian yang mengalami kenaikan yang cukup besar. Kementerian Pertahanan mendapat alokasi anggaran terbesar dibanding kementerian/lembaga lainnya.
Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat adalah teridiri dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran, Prakarsa Masyarakat untuk Negara Kesejahteraan dan Pembangunan Alternatif, Koalisi Anggaran Independen, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, Publish What You Pay, dan Koalisi Anti Utang.
Kementerian ini mendapat kenaikan anggaran sebesar Rp 16,9 triliun atau 35,7 persen menjadi Rp 64,4 triliun dalam RAPBN 2012. Rencananya alokasi tersebut sebagian besar untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Sementara kementerian lain yang juga mendapat kenaikan yang cukup signifikan, yakni Kementerian Perhubungan yang menjadi Rp 26,8 triliun, Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi Rp 5,9 triliun, dan Kementerian Agama menjadi Rp 37,3 triliun. Total anggaran untuk 15 K/L tersebut mencapai Rp 401,5 triliun.
“Permintaan kenaikan anggaran tersebut diajukan atas nama kebutuhan, di mana anggaran yang digunakan salah satu sumber dananya berasal dari utang. Padahal masyarakat tidak pernah merasakan secara langsung dampak dari kenaikan tersebut,” kata anggota Koalisi APBN Untuk Kesejahteraan Rakyat, Abdul Waidl.
Abdul menduga, hal itu terjadi karena tidak adanya transparansi mengenai berapa sebenarnya penerimaan pajak negara setiap tahunnya, sektor mana saja penyumbang pajak, dan besaran masing-masing sektor, serta bagaimana audit penerimaan negara dilakukan. Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan tidak bisa mengaudit penerimaan pajak.
“Ini merupakan hal yang aneh dan sulit diterima ditengah kebebasan memperoleh informasi yang dijamin undang-undang lainnya,” sesalnya.
Sekjen LSM Koalisi Anggaran Independen ini menyimpulkan, kalau APBN 2011 bertentangan konstitusi yang memandatkan pengelolaan anggaran untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dia bersama rekan-rekan lainnya di Koalisi APBN untuk Kesejahteraan Rakyat menuntut agar APBN 2011 direvisi dengan mengedepankan semangat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hal ini dilakukan, agar RAPBN 2012 yang akan dibahas DPR dan Pemerintah memperhatikan mandat konstitusi yang seharusnya ditaati. “Secepatnya kami akan mengajukan judicial review terhadap APBN 2011 ke Mahkamah Konstitusi. Mudah-mudahan bisa diputus sebelum APBN 2012 di ketuk palu agar putusan itu dijadikan masukan bagi APBN 2012,” ujarnya penuh harap.
Sebelumnya Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (PPN) sekaligus Menteri PPN, Armida Alisjahbana menjelaskan, total anggaran untuk 15 kementerian dan lembaga negara tersebut mencapai Rp 401,5 triliun, padahal pemerintah hanya menganggarkan Rp 476,6 triliun untuk 80 K/L. Dengan demikian sisa 65 K/L lainnya hanya memperoleh Rp 75,1 triliun.
Kementerian Pertahanan mendapat kenaikan anggaran sebesar Rp 16,9 triliun atau 35,7 persen menjadi Rp 64,4 triliun dalam RAPBN 2012. Kementerian ini mendapat alokasi anggaran terbesar dibanding kementerian/lembaga lainnya. “Alokasi tersebut sebagian besar untuk pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista),” terangnya.
Tak Ada Jalan Lain, Hentikan Rekrutmen PNS
Abdul Malik Haramain, Anggota Komisi II DPR
Besarnya dana APBN yang terserap untuk belanja pegawai terjadi karena tidak adanya perencanaan yang matang dalam hal rekrutment Pegawai Negeri Sipil (PNS). Permasalahan overloadnya beban belanja pegawai ini bukanlah hal baru. Selama ini belanja pegawai menyedot 60 persen hingga 75 persen dana APBN dan APBD. Kelebihan pegawai ini kerap terjadi karena banyaknya kenakalan yang dilakukan oknum-oknum di daerah saat rekrutmen.
“Para oknum itu sering nitip calon PNS. Hal inilah yang membuat jumlah PNS kerap melebihi kebutuhan. Komisi II DPR sudah lama mengkritisi hal ini dengan menanyakan masalah ini kepada Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,” kata Anggota Komisi II DPR, Abdul Malik Haramain, kemarin.
Menurutnya, postur belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2012 menunjukkan kalau beberapa alokasi belanja mengalami peningkatan. Kenaikan alokasi terbesar pada belanja lain-lain yang tercatat naik Rp 18,9 triliun, dan diikuti belanja pegawai naik Rp 32,9 triliun, belanja modal Rp 27,2 triliun, dan pembayaran bunga utang Rp 123,07 triliun Rp 16,5 triliun.
Sementara belanja pemerintah pusat yang mengalami penurunan adalah belanja barang sebesar Rp 4,3 triliun, belanja subsidi Rp 28,3 triliun, dan anggaran bantuan sosial Rp 18,2 triliun.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Timur II ini mengatakan, untuk menyelesaikan masalah ini ada tiga hal yang harus dilakukan Kemendagri dan Kemenpan RB.
Pertama, memberhentikan rekruitmen pegawai, agar tidak ada lagi penambahan pegawai dalam waktu dekat. Kedua, membuat grand design mengenai kepegawaian baik untuk pemerintah pusat ataupun daerah. Tujuannya supaya tidak ada lagi kelebihan pegawai saat melakukan rekrutmen.
Ketiga, melakukan evaluasi terhadap kompusisi pegawai pada pemerintah pusat dan daerah, sebagai bentuk penerapan dari grand design kepegawaian.
Pria berkacamata ini menjelaskan, terkait dengan banyaknya instansi yang meminta tambahan anggaran, Malik menilai hal sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari. Pasalnya tingginya jumlah PNS yang ada di instansi tiap tahunnya membuat anggaran yang dibutuhkan juga semakin besar. “Akibatnya kebutuhan untuk menaikkan anggaran juga tidak terhindarkan,” ujar Malik.
Malik berharap, agar grand design kepegawaian tersebut bisa diselesaikan sebelum akhir tahun 2012. Pasalnya Komisi II DPR menargetkan bisa digunakan untuk tahun 2013.
“Kalau untuk anggaran tahun 2012 kan sudah hampir final. Jadi supaya masalah seperti ini tidak terulang lagi, saya berharap grand designnya bisa segera dipergunakan,” tuturnya.
Saat ini, kata dia, Komisi II DPR sedang menunggu pembahasan grand design tersebut dengan Kemendagri dan Kemenpan RB. “Kita belum pernah membahasnya. Mudah-mudahan bisa diagendakan pada masa sidang ini. Karena kan lebih cepat lebih baik,” katanya.
Tidak Bisa Dihindari
Agus Martowardojo, Menteri Keuangan
Kenaikan belanja pegawai merupakan kenaikan dalam belanja yang tidak bisa dihindari, karena adanya kebijakan reformasi dan birokrasi yang ditetapkan pemerintah. “Belanja pegawai cukup tinggi dan itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena kita pun sedang menyelenggarakan program reformasi birokrasi dan reformasi birokrasi itu masih berjalan di tahun 2011-2012,” kata Menteri Keuangan, Agus Martowardojo belum lama ini.
Namun, Agus menjelaskan, saat ini pemerintah sedang mencari solusinya dengan melakukan kebijakan moratorium tambahan PNS di lingkungan kementerian ataupun lembaga negara. “Kita sebut moratorium selektif,” ucapnya.
Dengan adanya moratorium tersebut, maka ada bagian-bagian pada kementerian/lembaga negara tertentu yang harus menerima hanya sesuai dengan kebutuhan employee cycle-nya, yaitu bila ada yang pensiun dan selesai tugas mesti diganti posisinya. “Jadi, itu terkait belanja pegawai,” tukasnya.
Hany saja bekas Direktur Utama Bank Mandiri ini masih enggan mengungkapkan kementerian atau lembaga negara mana saja yang telah melakukan moratorium. “Saya belum bisa jelaskan, tapi ada semua kita jelaskan di Menteri PAN-RB,” pungkasnya.
Tidak Ada Yang Luar Biasa
Ketut Untung Yoga Anna, Karo Penmas Mabes Polri
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri, Ketut Untung Yoga Anna mengatakan, besarnya anggaran yang dialokasikan Polri untuk belanja pegawai memang tidak bisa dihindari. Pasalnya, jumlah aparat polri sangat besar, sehingga membutuhkan alokasi anggaran yang besar juga. “Sebetulnya tidak ada yang luar biasa dengan kenaikan tersebut. Jumlah aparat kepolisian itu kan ada 400 ribu orang,” katanya, pekan lalu.Yoga mengungkapkan, dari anggaran sebesar Rp 34 triliun pada tahun 2012, sebesar Rp 23 triliun dialokasikan untuk belanja pegawai. Sisanya baru dipergunakan untuk keperluan lain, seperti perawatan senjata. “Belanja pegawai itu kan bukan hanya gaji, tetapi juga termasuk tunjangan kesehatan dan lain-lain. Rp 23 triliun itu juga sudah termasuk kenaikan gaji 10 persen sesuai dengan ketentuan dari Presiden SBY kok,” terangnya.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Mabes Polri, Boy Rafli Amar mengatakan, anggaran penegakan hukum, terutama dalam penanganan perkara masih sangat minim. Padahal jumlah perkara yang ditangani Polri sangat banyak. “Diharapkan ke depan ada peningkatan,” ucapnya.
Belanja Modal Setara Subsidi BBM
Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef
Rancangan APBN 2012 dinilai belum mencerminkan prinsip keadilan mengingat banyak alokasi anggaran yang salah sasaran dan kurang menstimulus perekonomian. Selama ini kebijakan pro kepada penciptaan lapangan kerja, penuntasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi tidak tercermin dalam program-program pemerintah maupun postur APBN. Pada RAPBN 2012, terjadi kemunduran karena alokasi belanja rutin justru meningkat dari 78,49 persen di APBNP 2011 menjadi 80,43 persen.
“Anggaran bertambah besar, namun ruang gerak fiskal sebagai stimulus perekonomian tetap rendah. Anggaran untuk belanja modal 17,62 persen dan belanja sosial hanya 6,67 persen,” kata Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, kemarin.
Enny mengungkapkan, inkonsistensi kebijakan anggaran terlihat dari porsi belanja pegawai yang meningkat dari 20,14 persen di APBNP 2011, menjadi 22,61 persen di RAPBN 2012, atau mencapai Rp 215,7 triliun. “Gaji pegawai selalu naik, di sisi lain reformasi birokrasi gagal, pelayanan publik tetap rendah dankasus korupsi meningkat,” tuturnya.
Menurutnya, banyak alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran. Contohnya untuk subsidi BBM. Secara nominal memang porsinya berkurang dari Rp 26,7 triliun menjadi Rp 168,6 triliun. Namun jumlah tersebut masih dianggap terlalu besar mengingat belum ada strategi distribusi yang jelas.
“Anggaran belanja modal Rp 168,6 triliun, hampir setara dengan subsidi BBM. Jadi subsidi dengan investasi itu setara. Ketidaktepatan sasaran juga ada di anggaran transfer daerah yang sebagian besar untuk Dana Alokasi Umum, dimana rata-rata 70 persen digunakan membayar gaji pegawai,” jelasnya.
Dijelaskan, seharusnya ada tiga fungsi APBN, yakni fungsi referensi, fungsi stimulus, dan fungsi keadilan. Ia menilai selama ini, APBN belum menjalankan semua fungsi tersebut. [rm]
Baca juga:
marianifen Dalam Rangka Menyambut Hari ulang tahun bolavita ke - 6 , bolavita akan memberika bonus freechip kepada
semua member setia yang telah terdaftar dan bermain di bolavita.
Syarat & ketentuan berlaku freechips deposit malsimal bonus 2.0000.000 IDR
INFO Kontak Kami (24 jam Online):
.
• BBM: BOLAVITA
• WeChat: BOLAVITA
• WA: +62812-2222-995
• Line : cs_bolavita